Jumat 01 Oct 2021 15:16 WIB

Prancis Kembali Tutup Puluhan Masjid

Prancis menutup sepertiga dari 89 masjid yang diperiksa

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Kompleks masjid Eyyub Sultan di Strasbourg, Prancis.
Foto: bloomberg.com
Kompleks masjid Eyyub Sultan di Strasbourg, Prancis.

IHRAM.CO.ID, PARIS -- Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menyatakan, pemerintah telah menutup sepertiga dari 89 masjid yang diperiksa sejak November 2020. Sebelum Undang-Undang (UU) Anti-separatisme diberlakukan, 650 tempat ditutup di negara itu karena diduga menampung ekstremis dan 24.000 tempat diperiksa oleh polisi Prancis.

Darmanin mengatakan kepada surat kabar Le Figaro, pemerintah melakukan pemeriksaan yang dilakukan di 89 masjid atas tuduhan radikalisasi sejak November 2020. Hasil dari pemeriksaan tersebut, sepertiga di antaranya telah ditutup.

Menurut Darmanin, pemerintah mengambil tindakan untuk menutup enam masjid lagi di Sarthe, Meurthe-et-Moselle, Cote-d'Or, Rhone, dan wilayah Gard. Pemerintah juga menentang pembangunan sebuah masjid bernama "Eyup Sultan" di Strasbourg yang berafiliasi dengan Islamic Community National View (IGMG), meskipun ada persetujuan dari otoritas setempat.

Darmanin menjelaskan, pemerintah memperhatikan bahwa lima asosiasi Muslim yang diduga mempromosikan "Islam politik" telah ditutup sejauh ini. Dia mengatakan undang-undang separatisme memungkinkan pemerintah untuk melakukan lebih dari itu.

Akan ada total 10 asosiasi tambahan yang ditutup, dengan empat di antaranya ditutup pada Oktober. Rekening bank dari 205 asosiasi disita dan dua imam diusir.

"Kami menyebarkan teror di antara mereka yang ingin melakukan teror kepada kami,” kata Darmanin dikutip dari //Anadolu Agency//.

Darmanin menjelaskan, pejabat agama dari luar negeri tidak akan dapat datang ke Prancis mulai 2023. Dia telah menginstruksikan para gubernur untuk tidak memperbarui izin tinggal orang-orang itu. Pemerintah tidak memperbarui kartu tempat tinggal orang yang dihukum karena perdagangan narkoba dan kekerasan dalam rumah tangga di negara itu.

Prancis telah membatasi jumlah visa yang dikeluarkan untuk warga Aljazair, Tunisia, dan Maroko. Upaya itu, menurut Darmanin, untuk memungkinkan negara-negara ini menerima kembali warganya yang dideportasi oleh Prancis.

Pada Agustus, otoritas konstitusional tertinggi Prancis menyetujui UU Anti-separatisme yang kontroversial. Aturan itu disahkan oleh Majelis Nasional pada Juli, meskipun ada tentangan kuat dari anggota parlemen sayap kanan dan kiri.

Pemerintah mengklaim bahwa undang-undang tersebut dimaksudkan untuk memperkuat sistem sekuler Prancis. Namun, para kritikus percaya bahwa UU itu membatasi kebebasan beragama dan meminggirkan umat Islam. Aturan ini menargetkan komunitas Muslim Prancis yang terbesar di Eropa, dengan 3,35 juta anggota dan memberlakukan pembatasan pada banyak aspek kehidupan anggotanya.

Dalan UU ini mengizinkan pejabat untuk campur tangan di masjid dan asosiasi yang bertanggung jawab atas administrasi mereka. Pemerintah juga dapat mengatur keuangan asosiasi dan LSM yang berafiliasi dengan Muslim. Aturan tersebut juga membatasi pilihan pendidikan Muslim dengan membuat homeschooling tunduk pada izin resmi.

Selain itu, dalam UU itu memuat pasien dilarang memilih dokter berdasarkan jenis kelamin karena alasan agama atau alasan lain. Pendidikan sekularisme pun telah diwajibkan bagi semua pegawai negeri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement