Kamis 30 Sep 2021 16:24 WIB

Muhammadiyah Dorong Kebijakan Pertanian yang Progresif

Sektor pertanian di Indonesia posisinya sering dianggap hanya sebagai komplementer.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir.
Foto: Dokumen.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir.

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Membangun sektor pertanian dan dunia petani membutuhkan kebijakan afirmatif yang radikal, agar cita-cita mewujudkan sektor ini menjadi soko guru pembangunan di Indonesia bukan sekadar retorika. Karena realitasnya pertanian dan dunia petani merupakan bagian alamiah bangsa yang tidak bisa terpinggirkan.

Nestapa petani masih akan menjadi nyanyian pada era baru ini, bahkan mungkin lebih pedih lagi. Kondisi seperti ini harus menjadi masukan bagi negara, pemerintah, bahkan politisi atau partai politik yang mewakili rakyat.

Demikian pendapat Ketua Umum Pim­pinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir dalam acara Hari Tani Nasional yang digelar Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah dan Jaringan Tani Muhammadiyah (Jatam), Jumat (24/9) lalu. "Ini masalah yang terus diwariskan dari rezim ke rezim," kata Haedar.

Menurutnya, sejak zaman kolonial sampai dengan sekarang, sektor pertanian di Indonesia posisinya sering dianggap hanya sebagai komplementer. Kebijakan untuk dunia petani dan pertanian Indonesia seringnya juga hanya berpihak kepada pemilik-pemilik lahan besar.

Bahkan keadaan seperti terus berulang pada setiap rezim penguasa. Haedar lantas mengutip Clifford Geerts yang mengatakan sejak 1960-an telah terjadi involusi pertanian. Sehingga mengakibatkan dunia pertanian mengalami stagnan bahkan turun, kalah oleh kepentigan industri, infrastruktur, properti, dan lainnya.

Sebagai contoh jalur hijau untuk pertanian yang beberapa tahun kemudian berubah jadi pabrik atau perumahan dan sebagainya. Haedar mengakui bahwa perubahan itu terjadi bukan semata pertimbangan ekonomi tapi perkembangan dunia yang memang tidak sederhana.

Secara global, perubahan ini bersifat progresif dan se­lalu memiliki pola sama yaitu pilihan kemajuan selalu menuju industri. Ia melanjutkan, dalam proses global ini meniscayakan sebuah negara seakan maju jika bergerak dari pertanian menjadi negara industri.

Maka dari itu, menurut  Haedar, menjadi tanda tanya besar apakah kita bisa bertahan membangun dunia pertanian dan petani ketika dalam skala global pertanian selalu ditempatkan sebagai fase lampau yang harus ditinggalkan menuju fase baru. "Ini selalu menciptakan alam pikiran kita bahwa dunia pertanian memang fase lampau," ujarnya.

Ketika perubahan itu terjadi di suatu nega­ra, salah satu fenomena alamiah yang langsung terkena dampaknya adalah fakultas pertanian menjadi tidak diminati. Hal itu bisa dilihat dari jumlah mahasiswa pertanian di perguruan tinggi semakin sedikit.

Untuk memutus warisan rezim lama yang lama, Haedar mengajak mereka yang mengaku mewakili rakyat agar memiliki perhatian kepada pertanian dan dunia petani. Diperlukan kebijakan-kebijakan yang lebih progresif agar pertanian dan dunia pe­tani lebih baik nasibnya. Ia menekankan, walaupun belum tahu kapan mimpi kedaulatan petani bisa terwujud, tetapi kita harus selalu opti­mistis.

Ia menegaskan, Muhammadiyah tidak akan pernah kehilangan optimisme, walau ada gambaran-gambaran kesulitan itu sebagai cara pandang rasional objektif. Sebab, ketika ingin maju segala ketidakleluasaan dari kemajuan harus bisa disisihkan.

"Sehingga, kita bisa menjadi negara industri, negara teknologi atau negara modern, tapi dunia petani dan pertanian tetap menjadi bagian yang sah dan memperoleh kedaulatan di republik tercinta ini," ungkap Haedar.

Muhammadiyah lanjutnya, menempatkan dunia pertanian dan petani sebagai soko guru pembangunan di Indonesia. Karenanya, Muhammadiyah tidak pernah meninggalkan dan akan selalu mendampingi langkah kaki dunia pertanian mau­pun petani itu sendiri.

Bahkan, Muhammadiyah akan terus melakukan usaha-usaha nyata untuk dunia pertanian dan petani. Advokasi, pemberdayan, dan lain-lain, bagi Muhammadiyah semua mengandung proses pemajuan.

Dengan semangat Al Maun, Muhammadiyah bergerak untuk memberdayakan mereka yang selama ini termarjinalkan. Baik karena kebudayaan, korban bencana alam, sampai kesalahan dari kebijakan-kebijakan negara dalam lingkup domestik maupun global.

Haedar menuturkan, Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) sendiri sudah 15 tahun lebih men­dampingi petani, melakukan usaha-usaha langsung dari hulu ke hilir. Jamaah Tani Muhammadiyah jadi salah satu produk yang dirintis lama di berbagai daerah. "Ikhtiar ini akan terus kami lakukan secara luas, secara masif," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement