Kamis 30 Sep 2021 01:29 WIB

Tidak Lolos Wawasan Kebangsaan Kok Jadi ASN Polri

Tawaran Kapolri ini melegitimasi anggapan 56 pegawai KPK ini sengaja disingkirkan.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (ilustrasi)
Foto: Humas Mabes Polri
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (ilustrasi)

Oleh : Mas Alamil Huda, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Menjadikan 56 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai aparatur sipil negara (ASN) Polri itu aneh. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak lolos dalam seleksi ASN di sebuah lembaga, bisa diterima di instansi lain di satu negara yang sama sebagai abdi negara.

Kita coba melihat lagi persyaratan untuk menjadi ASN Polri. Salah satunya persyaratan umum calon ASN Polri adalah “Warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia, dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Itu persyaratan umum yang artinya administratif. Penyaringan tahap pertama sudah jelas tertulis bahwa calon ASN Polri harus setia kepada Pancasila dan UUD 1945. Bukankah itu yang selama ini ‘dipermasalahkan’ kepada 56 pegawai KPK melalui dalih TWK sehingga tidak bisa diangkat menjadi ASN di KPK?

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyatakan 56 pegawai yang dipecat dari KPK efektif per 30 September 2021 dinilai memiliki pengalaman yang dibutuhkan Polri untuk memperkuat divisi penanganan korupsi. Kapolri juga mengaku sudah meminta izin resmi terkait ini kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden, kata Kapolri, menyetujui usulannya itu.

Kapolri Sigit menyebut Bareskrim Polri sedang membutuhkan personel yang memenuhi kualifikasi pemberantasan korupsi. 56 pegawai KPK itu dianggap cocok dan mumpuni untuk mengisi divisi pemberantasan korupsi di Bareskrim Polri.

Kita coba runut. 56 pegawai diberhentikan dari KPK karena tidak lolos TWK. Mereka tidak masuk dalam bagian pegawai yang diangkat menjadi ASN berdasarkan UU KPK yang baru atau pascarevisi. Mereka lantas dipecat per 30 September 2021 dari KPK.

Berbagai upaya ditempuh para pegawai yang tidak lolos TWK ini, termasuk para aktivis pendukungnya. Upaya itu mulai dari mengadu ke Ombudsman, Komnas HAM, hingga gugatan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Semuanya kandas. Saya sebut kandas karena rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM juga tak jelas di mana sekarang.

Maka muncul kemudian tawaran Kapolri Sigit. 56 pegawai KPK yang dipecat, Novel Baswedan cs, diajak untuk menjadi bagian dari Polri alias menjadi ASN dan menempati divisi penanganan korupsi. Rekam jejak mereka dianggap bisa membantu Polri memberantas korupsi. Kapolri menganggap itu sangat bermanfaat untuk memperkuat jajaran organisasi Polri.

Pertanyaan besarnya adalah, apa beda keberadaan 56 pegawai tak lolos TWK itu di KPK dengan di Polri? Toh secara substansi, tenaga dan pikiran mereka sama-sama diberdayakan untuk memberantas korupsi di Tanah Air. Sama-sama ASN juga.

Jika pertanyaan ini tak bisa dijawab secara lugas dan transparan, jangan berharap jalan tengah. Karena menempatkan mereka di kepolisian juga berarti negara mengingkari apa yang telah dilakukannya sendiri dalam seleksi pegawai KPK untuk dijadikan ASN.

Pernyataan kemudian muncul dari Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Agus Andrianto. Penarikan 56 pegawai KPK ke Mabes Polri bukan untuk menjadi anggota tim penyidik kepolisian, melainkan hanya untuk pengangkatan sebagai ASN di institusi Polri.

Ini menjadi persoalan kedua. Apakah 56 pegawai yang rencananya direkrut menjadi ASN di Polri itu hanya akan menjadi tenaga administratif? Apakah berarti mereka tidak bisa melakukan penyelidikan maupun penyidikan kasus korupsi? Barangkali ini yang terus menjadi pertimbangan 56 pegawai KPK yang kini masih wait and see sebelum mengambil keputusan.

Menurut hemat saya, menjadikan 56 pegawai KPK sebagai ASN Polri bukanlah solusi, bukan pula jalan tengah. Jika negara masih membutuhkan tenaga mereka untuk memberantas korupsi, ya angkat saja mereka menjadi ASN KPK. Bukan menjadikan mereka ASN Polri, karena itu juga menyalahi aturan rekrutmen di Polri sendiri.

Jika semangatnya adalah memberantas korupsi, tidak ada alasan untuk tidak tetap menempatkan 56 pegawai itu di KPK. Itulah jalan tengah. Bukan dengan menempatkan mereka di Polri. Karena menempatkan mereka di Polri justru kian melegitimasi anggapan bahwa 56 pegawai itu memang sengaja disingkirkan dari KPK.

Sekali lagi, secara substansi tak ada beda mereka diajak bergabung ke Polri dengan tetap di KPK. Sama-sama memberantas korupsi, bukan?

 

*) Catatan: Terdapat revisi pada penulisan fokus berjudul 'Tidak Lolos Wawasan Kebangsaan Kok Jadi ASN Polri' pada Kamis (30/9) pukul 10.50 WIB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement