Kamis 30 Sep 2021 00:20 WIB

Krisis Energi di Inggris Perlu Dijadikan Pelajaran

Masyarakat dinilai belum siap membeli energi dengan harga mahal.

Pekerja melintas di depan tempat penguapan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya di Nagan Raya, Aceh, Senin (28/9/2020). PLTU Nagan Raya memproduksi sekitar 220 Megawatt yang didistribusikan ke sejumlah unit transmisi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di seluruh Aceh. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra./hp.
Foto: ANTARA/IRWANSYAH PUTRA
Pekerja melintas di depan tempat penguapan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya di Nagan Raya, Aceh, Senin (28/9/2020). PLTU Nagan Raya memproduksi sekitar 220 Megawatt yang didistribusikan ke sejumlah unit transmisi untuk memenuhi kebutuhan energi listrik di seluruh Aceh. ANTARA FOTO/Irwansyah Putra./hp.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyarankan pemerintah memetik pelajaran dari Inggris terkait pemanfaatan energi. Menurut Komaidi, Inggris kini kembali menggunakan PLTU batu bara untuk mengatasi krisis energi.

“Kalau kita lihat di Amerika Serikat, energi baru terbarukan (EBT) hanya 12 persen pada 2020. Kalau Inggris sudah lama pakai fosil, mereka sudah 400 tahun pakai batu bara sejak era revolusi industri,” kata Komaidi, Rabu (29/9).

Sejauh ini, kata dia, teknologi batu bara akan tetap menjadi energi yang dominan di pembangkit listrik Indonesia. Komaidi melihat pemerintah akan berpikir realistis untuk menggunakan energi yang termurah, sehingga Indonesia perlu berhati-hati menyikapi masalah transisi energi. Ia menilai, energi baru terbarukan bisa dikembangkan, tetapi belum kompetitif.

Menurutnya, sekalipun menggunakan batu bara, PLTU saat ini sudah memakai teknologi maju, di antaranya PLTU ultra super critical (USC) yang bisa dihitung biaya produksinya. “EBT sebagai pelengkap, bukan pengganti. Kalau diibaratkan makanan di meja, EBT itu ibarat sambal, bukan nasi. Hal ini sejalan dengan yang dituangkan Rencana Umum Energi Nasional yang mana pada 2050 konsumsi fosil masih besar dan EBT hanya 23 persen maksimal,” terang Komaidi.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno menilai, perubahan dari pemanfaatan fosil menjadi energi terbarukan harus melalui proses kerja keras dan konsisten agar kebijakan target netralitas karbon tercapai pada 2060.

Menurutnya, penggunaan pembangkit batu bara memang masih diperlukan hingga kini. "Untuk saat ini (peralihan ke EBT) memang membutuhkan waktu, tidak bisa seperti membalikkan telapak tangan," kata Eddy.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia juga harus memiliki peta jalan energi hijau untuk 30 tahun mendatang sebagai target netralitas karbon energi. Pemerintah diminta untuk mendesak negara maju yang menyatakan pelarangan emisi karbon.

Direktur Eksekutif Energi Watch Mamit Setiawan mengatakan, transisi energi menuju terbarukan pasti akan terjadi mengingat sudah banyak negara berkomitmen untuk menerapkannya. Namun, Indonesia saat ini belum siap sepenuhnya menerapkan energi baru terbarukan. 

“Kita harus melihat kondisi bahwa kita banyak belum siapnya. Karena masyarakat kita belum siap membeli energi dengan harga mahal,” ucap Mamit.

Dia menguraikan, kemampuan ekonomi masyarakat terhadap harga BBM dan listrik yang tinggi masih rendah. Ia menambahkan, keuangan negara juga akan semakin terbebani jika harga energi yang tersedia lebih mahal dari batu bara.

Saat ini, Mamit menyebut harga energi baru terbarukan masih lebih mahal dibandingkan harga batu bara. Jika nanti skema tarifnya ditentukan oleh pemerintah, maka akan membebani PLN dan keuangan negara. Dengan alasan-alasan tersebut, kata dia, apabila secara ekonomi belum terpenuhi sebaiknya pemerintah tidak perlu terburu-buru beralih ke energi baru terbarukan.

“Kita harus sabar dan melihat kondisi internal seperti apa, jangan terburu-buru nanti kejadian seperti Inggris. Pembangkit listrik batu bara kita dihancurkan, tapi tiba-tiba kekurangan bahan pasokan energi terbarukan," kata Mamit. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement