Selasa 28 Sep 2021 08:47 WIB

Dampak Larangan Transaksi Kripto di China Hanya Temporer

Larangan transaksi kripto oleh China bukan yang pertama kali.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi uang kripto dari bitcoin hingga ethereum
Foto: Anadolu
Ilustrasi uang kripto dari bitcoin hingga ethereum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Startup bitcoin dan crypto exchanges, Indodax, menilai dampak dari larangan transaksi kripto oleh Bank Sentral China People's Bank of China (PBoC) yang membuat harga aset kripto menurun, hanya bersifat temporer. CEO Indodax Oscar Darmawan menilai saat ini atensi dan minat masyarakat dunia justru semakin banyak, terlebih saat masa pandemi seperti ini.

Menurut Oscar seharusnya hal itu tidak menjadi sebuah kekhawatiran besar bagi para investor. "Investor tidak perlu was was, pengumuman ini hanya akan berdampak jangka pendek karena aksi market jual yang sifatnya memang hanya sementara. Namun secara jangka panjang tidak akan berdampak. Pada 1 Januari 2021, harga Bitcoin menyentuh 29.576 dolar AS per koin atau setara Rp 422 jutaan dengan kurs dolar hari ini. Coba lihat sekarang, harga Bitcoin sudah menyentuh di angka 43,942 dolar AS per koin atau setara Rp 626 juta-an dengan kurs dolar hari ini," ujarnya, Selasa (28/9).

Oscar menyebut pernyataan dari Bank Sentral China mengenai pelarangan transaksi kripto bukanlah hal yang baru. Pada awal 2021, pemerintahan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut mengumumkan akan menindak tegas seluruh aktivitas penambangan kripto.

Kabar tersebut disusul oleh pernyataan grup industri keuangan negara China pada Mei 2021 yaitu Asosiasi Keuangan Internet Nasional China, Asosiasi Perbankan China, dan Asosiasi Pembayaran dan Kliring China yang resmi melarang segala perdagangan kripto.

"Pernyataan aturan dari People's Bank of China tentang pelarangan transaksi kripto ini bukanlah hal baru dan menurut saya, pernyataan kemarin hanyalah sekadar pengingat. Menilik beberapa waktu ke belakang, larangan oleh pemerintah China terhadap kripto bukan pertama kalinya dikeluarkan," kata Oscar.

Bitcoin memang sejak akhir 2013 sudah dilarang di China. Pada 2017, pemerintahan China pernah menutup bursa kripto lokal. Kemudian pada Juli 2018, Bank Sentral China mengatakan ada sekitar 80 platform perdagangan kripto dan Initial Coin Offering yang ditutup. Pada 2019, Bank Sentral China mengeluarkan pernyataan akan memblokir akses ke semua bursa kripto domestik dan asing serta situs web Initial Coin Offering.

Menurutnya China memang satu-satunya negara yang sangat keras terkait transaksi kripto. Namun dia menilai hal itu tidak perlu dikhawatirkan, mengingat banyak negara lain yang justru mendukung pertumbuhan aset kripto termasuk Indonesia. Indonesia memperbolehkan aset kripto menjadi suatu komoditas dan sudah resmi diatur di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).

"Ekosistem China dirancang tertutup termasuk internet. China memblokir Youtube, WhatsApp, Facebook, Google dan menciptakan layanannya sendiri namun keempat layanan tersebut toh tetap berjaya sampai saat ini. Soal kripto, nyatanya masih ada negara lainnya yang mendukung pertumbuhan kripto seperti El Salvador yang baru baru ini melegalkan bitcoin sebagai alat pembayaran, Honduras dan Guatemala yang sedang melirik pelegalan bitcoin sebagai alat pembayaran, parlemen Ukraina yang telah mengesahkan rancangan undang-undang yang melegalkan dan mengatur aset kripto, JP Morgan dan Bank of America yang mendukung kripto, serta Paypal yang sudah berekspansi ke Inggris Raya untuk menyediakan layanan jual beli kripto," ungkapnya.

Hal yang cukup unik mengenai transaksi aset kripto, lanjut Oscar, selama ada jaringan internet investor bisa menyimpan aset kripto sendiri. Tak hanya secara daring, investor pun bisa menyimpan aset kripto secara luring di dalam USB flash drive.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement