Senin 27 Sep 2021 17:26 WIB

Presiden Diminta Segera Bersikap, Tentukan Nasib Pegawai KPK

Pemberantasan korupsi dinilai kian mengkhawatirkan dan kualitas demokrasi merosot.

Rep: Amri Amrullah/ Red: Ilham Tirta
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK menggelar aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Senin (27/9/2021). Aksi demonstrasi itu menuntut pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 30 September mendatang.
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK menggelar aksi unjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Senin (27/9/2021). Aksi demonstrasi itu menuntut pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 30 September mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Masyarakat sipil dan aliansi mahasiswa mendesak agar Presiden Joko Widodo segera bersikap terkait polemik Tes Wawasan Kebangsaan Komisi Pemberantasan Korupsi (TWK KPK). Desakan itu terkait pimpinan KPK yang akan memberhentikan secara resmi pegawai KPK yang tidak lolos TWK per 1 Oktober 2021.

Peneliti Public Virtue, Mohamad Hikari Ersada menjelaskan, suara masyarakat sipil dan aliansi mahasiswa (BEM SI) merupakan bentuk gugatan masyarakat yang wajib dikabulkan presiden. Pemerintah juga diminta menjamin hak mereka untuk berkumpul dan menyatakan protes secara damai.

“Sudah seharusnya temuan Komnas HAM dan Ombudsman atas hasil TWK menjadi alasan Presiden segera membatalkan pemberhentian 57 pegawai KPK. Demi kepentingan umum. Apalagi UU KPK terbaru meletakkan Presiden sebagai atasan KPK. Jadi Presiden berwenang membatalkan keputusan pemberhentian 57 pegawai KPK,” kata Hikari, dalam keterangannya, Senin (27/8).

Deputi Direktur Public Virtue, Anita Wahid menambahkan, pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan dan momok kualitas demokrasi Indonesia yang merosot hari ini bersumber pada lemahnya KPK. “Kuatnya jaringan elit politik yang korup yang memanfaatkan polarisasi masyarakat dengan menyebarkan tudingan taliban di KPK untuk melemahkan pemberantasan korupsi,” kata Anita.

Isu taliban dan tuduhan tidak nasionalis, menurutnya, sengaja diciptakan untuk menyerang kredibilitas dan integritas pegawai KPK yang selama ini berani dan jujur. "Isu talibanisme bertujuan untuk melunturkan dukungan rakyat, dengan menakut-nakuti masyarakat yang takut pada isu terorisme," ujar putri Gus Dur tersebut.

Anita menjelaskan, selain melanggengkan polarisasi masyarakat pasca Pilpres, isu taliban tersebut dipakai agar rakyat bingung melihat kebenaran dalam membela 57 pegawai tersebut. “Masih kuatnya dukungan publik hari ini pada 57 pegawai KPK membuktikan bahwa rakyat tidak terpengaruh rekayasa fitnah talibanisme. Dukungan rakyat dari berbagai sektor kepada 57 pegawai KPK harus membuat kepala negara mengambil langkah tegas untuk memperkuat KPK. Bukan sebaliknya,” tegas Anita.

Mulai 27 September, aliansi masyarakat sipil dan mahasiswa yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK (GASAK) melakukan unjuk rasa menuju gedung Merah-Putih KPK. Dari informasi yang diperoleh Public Virtue, setidaknya ada 800 mahasiswa dari berbagai daerah berkumpul di Jakarta untuk mengikuti aksi longmarch tersebut.

Public Virtue menilai, unjuk rasa mahasiswa adalah tindak lanjut pernyataan mereka sebelumnya yang mendesak presiden untuk membatalkan 57 pegawai KPK. Public Virtue bersama Koalisi Masyarakat Sipil juga meminta Presiden agar cermat dalam melihat bunyi rekomendasi putusan MA (26 P/HUM/2021) terkait uji materi PerKom 1/2021. Poin dua pertimbangan hakim secara jelas dan tegas menyebutkan tindak lanjut hasil asesmen TWK menjadi kewenangan pemerintah. Dengan kata lain, Presiden adalah pihak yang paling tepat untuk memutuskan polemik TWK KPK.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement