Senin 27 Sep 2021 17:14 WIB

Bareskrim Ungkap Pabrik Besar Obat Keras Ilegal

Pabrik tersebut mampau menghasilkan 420 juta butir obat keras per bulan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Ilham Tirta
Tiga tersangka dihadirkan saat pengungkapan mega cland obat keras dan peredarannya di Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Senin   (27/9). Mabes Polri berhasil mengungkap pabrik obat keras ilegal dan jaringan peredaran DIY-Jabar-Jakarta-Jaktim-Kalsel di Yogyakarta. Sebanyak lebih dari 30  juta butir obat disita dari penggerebekan ini. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi 2 juta per hari. Untuk sementara 13 tersangka diamankan aparat dari beberapa lokasi yang berbeda. Obat-obatan yang dibuat disini diantaranya Hexymer, Trihex, DMP, Double L, Irghapan.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Tiga tersangka dihadirkan saat pengungkapan mega cland obat keras dan peredarannya di Kasihan, Bantul, Yogyakarta, Senin (27/9). Mabes Polri berhasil mengungkap pabrik obat keras ilegal dan jaringan peredaran DIY-Jabar-Jakarta-Jaktim-Kalsel di Yogyakarta. Sebanyak lebih dari 30 juta butir obat disita dari penggerebekan ini. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi 2 juta per hari. Untuk sementara 13 tersangka diamankan aparat dari beberapa lokasi yang berbeda. Obat-obatan yang dibuat disini diantaranya Hexymer, Trihex, DMP, Double L, Irghapan.

REPUBLIKA.CO.ID, BANTUL -- Bareskrim Polri mengungkap dua pabrik obat keras ilegal di Yogyakarta lewat operasi yang dilakukan pada 21-25 September 2021. Kedua pabrik yang telah beroperasi sejak 2018 itu mampu memproduksi sampai 14 juta butir obat per hari.

Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto menuturkan, pengungkapan berawal dari pengembangan kasus jual beli obat Cirebon, Indramayu, Majalengka, Bekasi, dan Jakarta Timur selama Agustus 2021. Saat itu, polisi mengamankan sembilan orang pelaku.

Ia menerangkan, tersanga tidak memiliki izin, tapi menjual obat-obat keras dan terlarang jenis Hexymer, Trihex, DMP, dan Double L. Obat diduga bisa menimbulkan efek seperti depresi, sulit konsentrasi, mudah marah, dan gangguan koordinasi.

"Gangguan koordinasi seperti kesulitan berjalan atau berbicara, kejang-kejang, cemas atau halusinasi," kata Agus, Senin (27/9).

 

Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno H Siregar mengatakan, modus mereka memproduksi obat-obat keras yang dicabut izin edar oleh BPOM. Lalu, mengedarkan ke berbagai daerah memakai jasa pengiriman barang.

Ia mengungkapkan, dari keterangan sembilan pelaku , diketahui pemasok obat-obat itu berinisal WZ dan ditangkap di Jalan PGRI I Bantul pada 21 September. Dari WZ, polisi menangkap pengelola pabrik obat bernama LSK di Sleman 22 September.

Terungkap pula pemodal pabrik obat keras ilegal tersebut berinisial JSR. Dia  ditangkap pada hari yang sama dengan LSK, yang keduanya diketahui tidak cuma pemilik pabrik tersebut, tapi memiliki hubungan kakak-beradik.

LSK berperan sebagai penerima pesanan dari EY (DPO/pengendali) dan mengirim obat ke beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat , dan Kalimantan Selatan. LSK digaji kakak kandungnya JSR sebagai pemilik pabrik.

Barang bukti yang disita polisi mulai satu unit truk colt diesel berplat nomor Ab 8608 IS dan 30.345.000 butir obat keras yang dikemas jadi 1.200 paket dus. Lalu, tujuh mesin cetak pil Hexymer, DMP dan Double L, serta lima mesin oven obat.

Kemudian, satu mesin cetak dan 300 sak lactose dengan berat total 800 kilogram dan Irgaphan 200 miligram yang sudah dikemas dan siap dikirim. Kemudian, 100 kilogram adonan prekusor pembuatan obat keras, 500 kardus coklat, dan 500 botol kosong.

"Estimasi produksi jumlah obat keras ilegal yang bisa dihasilkan dari tujuh mesin produksi per hari 14 juta butir pil, berarti satu bulan 420 juta butir," ujar Krisno.

Bahan baku yang disita dari tempat kejaian perkara disebut berasal dari luar negeri dan didapat secara ilegal. Krisno menambahkan, mereka telah menangkap pemasok bahan baku yang merupakan perempuan berinisial AS pada Ahad (26/9) malam.

AS menambah tiga tersangka yang telah ditangkap. JSR (56) di Kabupaten Sleman, LSK (49) di Kabupaten Bantul, dan WZ (53) di Kabupaten Karanganyar. Ketiga tersangka dijerat Pasal 60 Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Perubahan Pasal 197/36 2009 tentang Kesehatan ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar subsider 10 tahun penjara. Kemudian, Pasal 60/5 1997 tentang Psikotropika ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 200 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement