Pekan lalu, Kemendikbudristek telah mengklarifikasi data klaster Covid-19 di sekolah yang beredar di masyarakat. Dikatakan, data-data tersebut bukan merupakan data klaster Covid-19 yang terjadi akibat pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di sekolah, melainkan data warga sekolah yang sedang atau pernah terkena Covid-19 secara umum.
"Jadi itu 2,8 persen adalah bukan data klaster pendidikan. Tetapi itu adalah data yang menunjukkan satuan pendidikan yang melaporkan lewat aplikasi kita, lewat laman kita, bahwa di sekolahnya ada warga yang tertular Covid 19," ujar Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek, Jumeri, pada konferensi pers, Jumat (24/9).
Untuk memperbaiki pendataan kasus Covid-19 di lingkungan sekolah, Kemendikbudristek bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menggunakan aplikasi PeduliLindungi. Aplikasi tersebut akan digunakan setelah melihat adanya mispersepsi dari pendataan yang Kemendikbudristek lakukan sebelumnya.
"Kemendikbudristek dan Kemenkes sedang melakukan uji coba sistem pendataan baru dengan applikasi PeduliLindungi. Itulah aplikasi tunggal yang akan kita pakai untuk pendataan," ungkap Jumeri.
Ketua DPR Puan Maharani mengkritik pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang justru menimbulkan klaster baru Covid-19. Menurutnya, banyak sekolah yang belum disiplin dalam menjalankan prokes, terutama di sekolah dasar.
"Ternyata dari data yang ada di sekolah SD banyak murid yang terpapar. Artinya belum siap bagaimana menjaga protokol kesehatan," ujar Puan di SMKN Negeri 72, Jakarta, Ahad (26/9).
Ia meminta juga agar adanya syarat vaksin sebanyak dua kali bagi guru dan siswa yang melaksanakan PTM terbatas. Adapun, bagi sekolah yang berada di zona hijau, dimintanya untuk tidak lengah selama pembelajaran luring.
"Zona hijau bisa dibuka PTM bertahap, namun tentu saja melihat kondisi dan situasi yang ada. Jangan sampai kemudian terjadi peningkatan atau penambahan orang yang terpapar," ujar Puan.