Ahad 26 Sep 2021 19:32 WIB

IDAI: Kasus Anak Terkonfirmasi Covid-19 Terbanyak di Jabar

Untuk kasus kematian anak akibat Covid-19 tertinggi di Jateng.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Kasus anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak ada di Jawa Barat (ilustrasi).
Foto: ANTARA/RAISAN AL FARISI
Kasus anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak ada di Jawa Barat (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) melakukan riset dan melaporkan kasus anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak ada di Jawa Barat. Sementara itu, kasus kematian anak akibat Covid-19 tertinggi di Jawa Tengah.

"Penelitian ini adalah gambaran data terbesar pertama kasus Covid-19 anak di Indonesia pada gelombang pertama Covid-19. Angka kematian yang cukup tinggi adalah hal yang harus dicegah dengan deteksi dini dan tata laksana yang cepat dan tepat," kata Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Prof Dr dr Aman B Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon), dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Ahad (26/9).

IDAI melakukan studi retrospektif terhadap data 37.706 kasus anak terkonfirmasi Covid-19 yang diperoleh dari laporan kasus Covid-19 pada anak yang dirawat oleh dokter anak yang tergabung dalam IDAI selama Maret-Desember 2020. Laporan riset IDAI menunjukkan 10 daerah di Indonesia dengan kasus anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak, yakni Jawa Barat dengan angka 10.903 kasus, diikuti oleh Riau (3.580), Jawa Tengah (3.108), Sumatra Barat (2.600), Kalimantan Timur (2.033), Jawa Timur (1.884), Bali (1.524), Sumatra Utara (1.448), DI Yogyakarta (1.275), dan Papua (1.220).

Selain itu, IDAI menyebutkan ada tujuh daerah dengan kasus kematian anak terkonfirmasi Covid-19 terbanyak, yakni Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Selatan. Berdasarkan data tersebut, di antara anak-anak terkonfirmasi Covid-19 yang ditangani oleh dokter anak, angka kematian tertinggi pada anak usia 10-18 tahun (26 persen), diikuti 1-5 tahun (23 persen), 29 hari- kurang dari 12 bulan (23 persen), 0-28 hari (15 persen), dan 6 tahun sampai kurang dari 10 tahun (13 persen).

Ketua Bidang Ilmiah Pengurus Pusat IDAI, Dr dr Antonius H Pudjiadi, Sp.A(K) mengatakan tidak meratanya deteksi kasus Covid-19 tersebut terjadi karena fasilitas tes PCR dan fasilitas kesehatan yang berbeda, kapasitas pengujian dengan PCR saat itu di Indonesia masih rendah dan anak bukan populasi prioritas untuk tes. Sekretaris Umum Pengurus Pusat IDAI, dr Hikari Ambara Sjakti, Sp.A(K) menyebut laporan tersebut menunjukkan angka kematian kasus atau case fatality rate (CFR) Covid-19 pada anak di Indonesia, yakni 522 kematian dari 35.506 kasus suspek (CFR 1,4 persen) dan 177 kematian dari 37.706 kasus terkonfirmasi (CFR 0,46 persen).

Laporan hasil riset IDAI itu menyebutkan CFR Covid-19 anak di Indonesia tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan di negara lain, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa, kemungkinan karena kapasitas pemeriksaan (testing) yang rendah sehingga banyak kasus yang tidak terdeteksi. 

Laporan tersebut juga mengungkapkan penyebab kematian anak akibat Covid-19 terbanyak dikarenakan faktor gagal napas, sepsis atau syok sepsis, serta penyakit bawaan (komorbid). Sementara komorbid terbanyak pada anak Covid-19 yang meninggal adalah malnutrisi dan keganasan, disusul penyakit jantung bawaan, kelainan genetik, tuberkulosis (TBC), penyakit ginjal kronik, celebral palsy, dan autoimun. Sementara 62 anak meninggal tanpa komorbid.

Ketua Satuan Tugas Covid-19 IDAI, dr Yogi Prawira, Sp.A(K) mengatakan faktor penyebab gagal napas dan sepsis atau syok sepsis terjadi pada kondisi Covid-19 yang berat sehingga pemantauan kondisi serta tata laksana secara dini dan tepat sangat penting untuk mencegah terjadinya dua kondisi tersebut. Hasil penelitian IDAI tersebut dipublikasikan dalam jurnal ilmiah Frontiers in pediatrics yang terbit pada 23 September 2021.

Sementara itu, data Kementerian Kesehatan (Kemkes) pada waktu yang sama mendapatkan 77.254 kasus anak terkonfirmasi Covid-19 dari total kasus 671.778, yaitu sekitar 11,5 persen. Perbedaan jumlah tersebut terjadi karena di penelitian ini yang terdata hanyalah kasus yang ditangani oleh dokter anak, sedangkan Kemkes juga masukkan data dari anak yang tidak bergejala dan hasil telusur kontak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement