Sabtu 25 Sep 2021 12:15 WIB

Pemerintah Disarankan Perbaiki Strategi Pengembangan EBT

PLN sedang dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Satria K Yudha
Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Selasa (2/2/2021). Berdasarkan data PLN NTB untuk potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di NTB tercatat sebesar 102.74 MW dengan berbagai macam sumber EBT yaitu air (PLTM dan PLTA), bayu atau angin (PLTB), tenaga surya (PLTS), biomassa (PLTBm) dan arus laut (PLTAL) dimana dari total potensi tersebut sebesar 41.38 MW berada di pulau Sumbawa, 21.36 MW di Pulau Lombok dan masing masing sebesar 10 MW berada di Selat Lombok dan Selat Alas.
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Pekerja membersihkan panel Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Desa Sengkol, Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB, Selasa (2/2/2021). Berdasarkan data PLN NTB untuk potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di NTB tercatat sebesar 102.74 MW dengan berbagai macam sumber EBT yaitu air (PLTM dan PLTA), bayu atau angin (PLTB), tenaga surya (PLTS), biomassa (PLTBm) dan arus laut (PLTAL) dimana dari total potensi tersebut sebesar 41.38 MW berada di pulau Sumbawa, 21.36 MW di Pulau Lombok dan masing masing sebesar 10 MW berada di Selat Lombok dan Selat Alas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai perlu memperjelas kewajiban pembelian dan kompensasi listrik. Strategi pengembangan EBT pun perlu diatur ulang agar tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

 

Anggota Komisi VII DPR RI Fraksi PPP Anwar Idris mengatakan, pemerintah perlu mematangkan strategi terkait masalah investasi pembangunan pembangkit listrik EBT yang kurang bersaing dengan pembangkit energi fosil. Menurutnya, harga EBT yang lebih mahal dibandingkan dengan fosil, menyebabkan produsen listrik memerlukan insentif dari pemerintah. 

 

"Salah satu insentif EBT yang diberikan dalam bentuk kompensasi dari pemerintah kepada produsen listrik. Di sisi lain, insentif ini perlu dilakukan hati-hati karena biayanya akan membebani anggaran negara," ujarnya, Jumat (24/9).

 

Selain itu, di tengah upaya mendorong transisi energi, pihaknya juga mengingatkan proses peralihan harus berjalan mulus dan tidak bisa serta merta melupakan kontribusi energi fosil yang masih sangat berperan.

 

Guru Besar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mukhtasor menyoroti mekanisme kerja sama jual-beli listrik. Menurutnya, kerja sama PLN dengan swasta sah saja dilakukan, tetapi harus memastikan bahwa prinsip penguasaan negara harus berlaku. 

Sayangnya, kata dia, kondisi saat ini menunjukkan bahwa negara tidak dalam posisi punya fleksibilitas, kecuali harus menanggung semua risiko yang terjadi dengan kompensasi dari APBN.

 

Dengan skema take or pay (TOP), PLN diwajibkan mengambil seluruh pasokan listrik terkontrak atau membayar denda bila tidak mengambil sesuai dengan volume terkontrak.

Karena ada skema penalti berupa TOP tersebut, maka mau tidak mau PLN harus tetap membeli listrik dari para pengembang listrik swasta tersebut.

 

Padahal, kata Mukhtasor, PLN sedang dihadapkan dengan kondisi kelebihan pasokan. Hal ini mengharuskan BUMN tersebut bekerja keras mencari permintaan baru demi menyerap listrik. 

 

Daya mampu listrik PLN tercatat mencapai 57 gigawatt (GW) dengan daya mampu 39 GW. Itu berarti ada cadangan daya hingga 31 persen.

 

"Beban tanggungan ini sangat berat dan akan semakin berat ketika RUU EBT memilih strategi yang salah, misalnya memahalkan harga listrik energi terbarukan ketika tren harga produksi semakin murah, seperti PLTS di dunia saat ini," ujarnya.

 

Selain itu, lanjut Mukhtasor, persoalan juga semakin rumit ketika RUU EBT membuka ruang bahwa PLN dapat diwajibkan membeli listrik energi terbarukan dari swasta atau asing, padahal kondisi pasokan listrik sedang berlebih. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement