Sabtu 25 Sep 2021 06:30 WIB

Penjelasan Menperin Mengapa Kebutuhan Impor Garam Tinggi

Total kebutuhan garam nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Foto: Antara/Galih Pradipta
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, menyebutkan, pertumbuhan penggunaan garam juga cukup tinggi dengan industri petrokimia, kertas, aneka pangan, serta pertambangan minyak jadi sejumlah pengguna terbesarnya. Pada 2021, total kebutuhan nasional mencapai 4,6 juta ton, tapi produksi garam nasional tidak mencampai 1,5 juta ton.

"Rata-rata (pertumbuhan penggunaan garam) lima hingga tujuh persen per tahun,” kata Agus pada diskusi daring, Jumat (24/9).

Baca Juga

Dia menerangkan, pengguna garam bukan hanya rumah tangga. Agus mengungkapkan, pengguna garam paling besar justru berasal dari sejumlah industri, mulai dari petrokimia, kertas, farmasi, kosmetik, hingga pertambangan minyak. Menurut dia, industri chlor alkali plant (CAP) saja membutuhkan hingga 2,4 juta ton per tahun. Dia mencatat, total kebutuhan nasional mencapai 4,6 juta ton pada 2021

Namun, kata dia, berdasarkan data BPS, produksi garam nasional tidak sampai 1,5 juta ton. Sebab itu, Indonesia masih harus mengimpor garam dengan nilai hingga USD 97 juta pada 2020. Agus mengatakan, dengan bahan baku itu industri pengguna garam mengekspor dengan nilai UAD 47,9 miliar. Dia menyebut, pengguna garam salah satu sektor yang tetap tumbuh di tengah pandemi.

Agus mengungkapkan, pihaknya telah berusaha mendorong peningkatan penggunaan garam nasional. Kementerian Perindustrian berharap industri nasional bisa menyerap hingga 1,5 juta ton garam nasional pada 2021 ini.

Dia mengakui, ada banyak tantangan dalam rangka penggunaan garam nasional. Di mana salah satunya adalah selisih kemampuan produksi dengan kebutuhan nasional. Kemudian, masalah lainnya terkait dengan keberlanjutan pasokan. Menurut dia, industri pengguna tidak mungkin menghentikan operasi saat garam nasional tidak tersedia.

Masalah lainnya, yang menurut Agus tak kalah penting, yakni garam produksi dalam negeri belum sesuai kebutuhan industri. Dia mengatakan, garam industri paling tidak harus punya kadar kemurnian 97 persen. Di sektor farmasi dan kosmetik, kadar kemurnian paling rendah 99 persen. Sementara kadar garam dalam negeri masih di bawah 90 persen.

Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Hubungan Antarlembaga Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Hermawan Prajudi, menuturkan, akan ada banyak masalah apabila penggunaan garam tidak sesuai standar.

Dia menjelaskan, garam dengan kandungan air tinggi bisa mempercepat kerusakan produk. Selain itu, kandungan benda asing di garam bisa menjadi salah satu penyebab mesin pengolah rusak dan berujung pada dilakukannya penolakan oleh pasar.

Lalu, sektor makanan dan minuman juga harus memenuhi standar keamanan pangan di berbagai negara sebagai industri orientasi ekspor. Standar itu tidak menoleransi benda-benda asing dalam pangan. Sebab itu, industri makanan dan minuman sulit menerima garam dengan kadar kemurnian di bawah standar.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Indonesia, Misri Gozan, tidak menampik adanya peluang garam produksi dalam negeri tidak mencapai standar kemurnian yang dibutuhkan. Karena itu, dibutuhkan intervensi teknologi dalam produksi garam nasional. Menurut dia, produksi garam nasional juga punya banyak tantangan, salah satunya adalah kondisi alam. "Kelembaban di Indonesia bisa mencapai 90 persen. Sementara di Australia, kelembaban bisa 30 persen," jelas dia.

Selain itu, tidak semua daerah Indonesia bisa terus menerus dalam kondisi panas selama paling tidak 1,5 bulan berturut-turut. Periode itu waktu paling singkat untuk menguapkan air laut. Di Indonesia, produksi garam memang masih mengandalkan penguapan air laut. Sementara di beberapa negara lain, garam ditambang dari gunung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement