Kamis 23 Sep 2021 19:58 WIB

Ada 73 Kasus Kekerasan Anak Hingga Agustus 2021 di Tangsel

Puluhan kasus kekerasan tersebut dialami anak perempuan maupun laki-laki.

Rep: Eva Rianti / Red: Mas Alamil Huda
Ilustrasi Kekerasan Anak
Foto: Foto : MgRol112
Ilustrasi Kekerasan Anak

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN – Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mencatat ada sebanyak 73 kasus kekerasan anak yang terjadi sepanjang Januari hingga Agustus 2021. Puluhan kasus kekerasan tersebut dialami anak perempuan maupun laki-laki.  

“Kekerasan anak ada 73 kasus, rinciannya, anak laki-laki 27 kasus dan anak perempuan 46 kasus,” kata Kepala UPTD P2TP2A Kota Tangsel Tri Purwanto saat dihubungi, Kamis (23/9).

Data P2TP2A menunjukkan, ada beragam jenis kekerasan pada puluhan kasus itu. Yakni meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, hingga kekerasan berbasis daring. Dari ragam jenis kekerasan tersebut, Tri mengatakan, pihaknya menitikberatkan penanganan pada kekerasan seksual yang dialami oleh anak.

“Kami fokus kekerasan ke anak, karena ini generasi yang akan datang. Itu rata-rata kekerasan yang terjadi adalah kekerasan seksual, itu yang biasanya kita nomor satukan untuk kekerasan seksual terhadap anak,” jelasnya.

Tri menuturkan, secara umum para anak yang mengalami kekerasan mengalami kekerasan psikis atau trauma yang mendalam. Dalam menanganinya, pihaknya menyediakan psikolog untuk membantu menghilangkan trauma. Sebagian korban, kata dia, melanjutkan kasus kekerasan ke ranah hukum dengan melaporkannya ke pihak kepolisian, sementara sebagian lainnya menyelesaikan secara kekeluargaan atau mediasi.

Terkait dengan faktor masih banyaknya kasus kekerasan pada anak di Tangsel, Tri berpendapat salah satu faktornya lantaran dampak dari kondisi pandemi Covid-19. Secara umum, korban dan pelaku merupakan orang-orang dekat yang sehari-hari lebih banyak menghabiskan hari bersama di rumah.

“Banyak pengaruhnya, bisa berkembang terus tiap tahun. Iya salah satunya pandemi, mungkin di rumah karena seringnya bertemu, karena rata-rata pelaku dari orang dekat,” tuturnya.

Tri menambahkan, kemungkinan masih banyak korban kekerasan anak yang tidak mengadu atau melaporkan diri dengan berbagai alasan. Dia mengimbau agar masyarakat lebih berani melaporkan kasus kekerasan pada anak agar dapat ditindaklanjuti dan diselesaikan sebagaimana mestinya.

“Pasti banyak (yang tidak lapor) karena saya lihat kasus kekerasan anak terutama kayak gunung es. Kelihatannya sepele, tapi sebetulnya di bawah itu banyak (kasus). Makanya sekarang kita lagi giat-giatnya untuk masyarakat biar berani mengadu. Biar masyarakat mengerti tentang kekerasan, jadi kita buka sebuka-bukanya sekarang ini biar masyarakat tahu mau melapor ke kita,” tutupnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement