Kamis 23 Sep 2021 16:25 WIB

Jihad di Usia Senja

Jihad di usia senja, Abu Ayyub menjadikan sisa usia untuk taat kepada Allah

Ilustrasi Lansia
Foto: pixabay
Ilustrasi Lansia

REPUBLIKA.CO.ID, Pada satu hari, Rasulullah SAW bertamu kepada Ummu Haraam binti Malhaan.  Nabi akhir zaman itu tidur siang di rumah bibinya itu. Dia lantas terbangun dan tertawa. Wanita itu berkata, “Ada apa denganmu wahai Rasulullah? Apa yang membuatmu tertawa?”  Dia pun bersabda, “Aku baru saja melihat orang dari umatku mengarungi lautan berperang di jalan Allah, bagai raja di atas ranjang.” Dia berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku salah satu diantaranya.” Dia bersabda, “Kamu diantara mereka.” 

Hari demi hari pun bergulir. Setelah Rasulullah SAW wafat dan masa kekhalifahan telah usai tampuk kepemimpinan kaum Muslimin dipegang oleh Muawiyah. Dia  menyerukan kepada bala tentaranya untuk berjihad di jalan Allah SWT. Hingga sampai arah bidikan ke tanah Konstantinopel sebuah negeri Romawi yang amat sukar ditaklukkan. Mendengar seruan berjihad itu, seorang kakek uzur yang pernah mendengar hadis Nabi SAW di atas pun bergegas mengambil pedang dan tombaknya. 

Siapakah kakek itu? Dia adalah Abu Ayyub al-Anshari, seorang penduduk Madinah yang rumahnya ditunjuk unta Nabi SAW sebagai tempat tinggal sementara setelah berhijrah dari Makkah. Sejarah mencatat betapa Abu Ayyub memuliakan tamu agung itu. Abu Ayyub menyediakan makanan terlezat untuk Nabi SAW. Saat Nabi memilih untuk tidur di bawah agar dekat dengan masjid, Abu Ayyub tak bisa tidur semalaman karena merasa tak layak untuk tidur di atas Nabi. 

Syeikh Aidh al Qarni menjelaskan, Abu Ayyub memuliakan Nabi SAW melebihi apa yang dilakukan seorang murid kepada gurunya, seorang Muslim kepada imam besar atau seorang pelayan kepada tamunya. Ketika Rasulullah SAW hendak keluar, Abu Ayyub memakaikan sandalnya ke kaki Nabi SAW. Dia berdiri untuk menerimanya dan berdiri saat hendak mengantarnya. Abu Ayyub pun menjadi koki di rumah selama Nabi SAW tidur dirumahnya. 

Tak hanya menghormati Nabi SAW pada masa hidup, Abu Ayyub pun tetap mengikuti syariat dan ajarannya setelah Nabi SAW wafat. Abu Ayyub, lelaki yang lahir di Aljazair itu begitu merindukan syahid. Dia ingin hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. 

“Janganlah engkau mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka.. “ (QS Ali Imran: 169-171). 

Dia berangkat dengan perbekalan menuju medan perang. Anak-anaknya berkata, “Engkau orang tua yang sudah berumur delapan puluh tahun.” Mendengar peringatan anak-anaknya, Abu Ayyub justru menjawab, “Tidak. Aku berjihad di umur delapan puluh tahun ini seperti engkau yang membaca dan menulis di umur dua puluh tahun.” Anaknya kembali mengingatkan Abu Ayub, “Allah telah memberimu uzur. Engkau sudah tua dan sakit. Tidak kuat untuk berperang.” 

Dia berkata,”Demi Allah, tidak. Sesungguhnya Allah telah berfirman, ‘Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun merasa berat. Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah’. (at-Taubah: 41).  Abu Ayyub pun melanjutkan, “Dan aku merasa berat. Demi Allah aku akan berangkat.” 

Abu Ayyub menjadikan umurnya yang kedelapan puluh tahun sebagai ketaatan kepada Allah. Dia berangkat bersama tentara menaiki perahu dan mengarungi lautan. Dia pun mengulang lafaz Laa Ilaaha illallah Muhammad Rasulullah. Dimulailah pertempuran itu. Abu Ayyub mandi, mengenakan wewangian dan  pakaian tempur yang kelak menjadi kain kafannya ketika dia syahid. 

Dia lantas berwasiat, “Demi Allah. Aku memohon kepada kalian. Jika aku mati hari ini, carilah akhir batas tanah kaum Muslimin dengan Romawi. Lalu lemparlah aku ke dalam wilayah mereka. Dengan harapan semoga Allah mengutusku pada hari kiamat seorang mukimin di tengah-tengah orang kafir.” 

Pertempuran pun dimulai. Abu Ayyub dengan gigih maju ke medan laga. Dia menerabas tanpa takut kepada musuh. Setelah berperang dengan semua tenaga, Abu Ayyub tewas dipenggal musuh. Sesuai dengan wasiatnya, pasukan Muslimin menguburkan jenazahnya di bagian terdekat dari konstantinopel. 

Sebuah syair berkata: 

“Wahai yang beribadah di Haramain."

"Jika kau melihat kami kau akan tahu bahwa kau bermain-main dalam beribadah."

"Barang siapa yang memoles pipinya dengan air matanya, maka leher kami dipoles darah kami."

"Atau yang meletihkan kudanya di kebatilan, maka kuda kami letih di hari pertempuran.”

Sheikh Aidh al Qarni pun berpesan, sampaikan salam dari seluruh umat Islam bagi yang berkesempatan untuk berziarah ke makamnya. Berdirilah yang lama di atas kuburnya dan berterima kasihlah atas kebaikan bertamu, kebaikan melayani, kebaikan hidup, kebaikan memberi dan kebaikan pengorbanan.

 

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement