Kamis 23 Sep 2021 15:51 WIB

Batu Bara Ganti EBT, PTBA: Biaya Energi Jadi Lebih Mahal

Dekarbonisasi harusnya upaya mengurangi emisi karbon, bukan diskredit bisnis batubara

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Friska Yolandha
Batu bara. Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA) Tbk Suryo Eko Hadianto mengatakan batu bara dan dekarbonisasi merupakan dua hal yang berbeda.
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Batu bara. Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA) Tbk Suryo Eko Hadianto mengatakan batu bara dan dekarbonisasi merupakan dua hal yang berbeda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Bukit Asam (PTBA) Tbk Suryo Eko Hadianto mengatakan batu bara dan dekarbonisasi merupakan dua hal yang berbeda. Suryo menilai dekarbonisasi seharusnya merupakan upaya dalam mengurangi emisi karbon guna mencapai komitmen kesepakatan Paris, bukan untuk mendiskreditkan bisnis batu bara.

"Kalau dekarbonisasi mestinya mengurangi emisi tapi kok dunia fokusnya ke batu bara," ujar Suryo dalam forum dan penganugerahan Business Performance Excellence Awards (BPEA) 2021 bertajuk 'Pengelolaan Kinerja BUMN untuk Kesinambungan Usaha yang Sehat dan Kompetitif' di Jakarta, Kamis (23/9).

Padahal, menurut Suryo, batubara telah mengalami perkembangan teknologi guna menciptakan bisnis yang ramah lingkungan dan juga berkontribusi pada penurunan emisi karbon. PLTU saat ini telah dilengkapi teknologi Ultra Super Critical yang mampu mengurangi emisi karbon hingga 98 persen. 

Suryo menilai pelemahan bisnis batubara tak lepas dari persaingan dengan energi baru terbarukan (EBT). Suryo berharap Indonesia lebih berhati-hati dalam menghadapi perkembangan dunia yang terus mengikis peran batu bara dan menggantinya dengan EBT.

"Kalau batu bara mati, EBT akan lebih diimplementasikan secara masif. Kalau Indonesia gegabah yang biaya energi akan lebih mahal," ucap Suryo.

Suryo mengatakan Indonesia masih memiliki cadangan sumber daya batu bara sebesar 30 miliar ton. Menurut Suryo, pengembangan batu bara dengan teknologi ramah lingkungan menjadi pilihan bijak dalam mengurangi emisi karbon dan juga menciptakan energi yang murah bagi masyarakat.

Suryo menilai ongkos produksi batu bara yang relatif lebih murah akan menjadikan produk dalam negeri kompetitif dan terjangkau bagi masyarakat. Hal ini akan mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia.  

"Kalau kita terjebak investasi ke EBT yang saat ini tinggi biaya produksi, produk akan mahal, ekspor rendah, masyarakat membayar lebih mahal, kemudian barang impor lebih murah karena negara lain lebih siap EBT, otomatis pertumbuhan ekonomi kita akan negatif," ungkap Suryo.

Suryo mengatakan negara yang mampu menguasai energi dengan ongkos lebih murah akan memenangkan persaingan dalam kancah global. Kata Suryo, kondisi ini juga dilakukan Cina yang tetap mengunakan batu bara demi menciptakan produk yang kompetitif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement