Kamis 23 Sep 2021 06:52 WIB

Sejumlah Isu Krusial Revisi UU Sistem Keolahragaan Nasional

Total sebanyak 861 daftar inventarisasi masalah (DIM) akan dibahas oleh panja.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Mas Alamil Huda
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf.
Foto: Dian Erika Nugraheny / Republika.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi X DPR RI resmi membentuk panitia kerja (panja) Perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Total sebanyak 861 daftar inventarisasi masalah (DIM) akan dibahas oleh panja yang terdiri dari DPR dan pemerintah  tersebut.

Adapun sejumlah isu krusial yang dibahas dalam panja antara lain terkait kelembagaan Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf ME, dalam rapat kerja dengan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) RI, Rabu (22/9), mengatakan, DPR dalam DIM-nya memandang ketua Koni tidak rangkap jabatan dengan jabatan struktural dan jabatan publik namun tidak ada sanksi. KOI dipimpin oleh ketua selaku ex-officio menteri.

"Pandangan pemerintah, ketua KONI tidak rangkap jabatan dengan jabatan struktural dan jabatan publik dan diberikan sanksi administratif jika melanggar. Kedua, ketua KOI tidak ex-officio menteri," kata Dede di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (22/9).

Isu krusial lainnya, DPR dalam DIM-nya memandang Badan Arbitrase dibentuk oleh pemerintah pusat. Sedangkan pemerintah memandang Badan Arbitrase tidak dibentuk oleh pemerintah pusat. Baik DPR dan pemerintah sependapat bahwa Badan Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa keolahragaan nasional tunggal yang putusannya bersifat final dan mengikat.

 

Selanjutnya terkait isu pendanaan olahraga, DIM DPR mengusulkan mandatory spending 2 persen untuk dana keolahragaan. DPR juga memandang perlu adanya pengaturan mengenai pengalokasian anggaran keolahragaan, paling sedikit 30 persen dialokasikan untuk dana abadi keolahragaan. Kemudian pendanaan olahraga menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dan daerah, badan usaha, dan masyarakat.

"DIM pemerintah, pemerintah tidak menyetujui mandatory spending 2 persen untuk dana keolahragaan dan paling sedikit 30 persen dialokasikan untuk dana abadi keolahragaan. Artinya di sini kita beda pendapat, Pak," ungkap Dede. "Kedua, menghapus tanggung jawab pendanaan olahraga oleh badan usaha, dan masyarakat," imbuhnya.

Isu krusial yang juga akan dibahas dalam panja yaitu soal penghargaan olahraga. DPR memandang penghargaan dapat berbentuk pemberian kemudahan, beasiswa, asuransi, pekerjaan, kenaikan pangkat luar biasa, tanda kehormatan, kewarganegaraan warga kehormatan, jaminan hari tua, kesejahteraan, insentif perpajakan. Sementara itu Pemerintah dalam DIM-nya menghapus penghargaan olahraga dalam bentuk asuransi, insentif perpajakan, dan jaminan hari tua.

Politikus Partai Demokrat itu mengatakan, DPR juga mendorong adanya perlindungan pelaku olahraga dalam bentuk program jaminan sosial yang penyelenggaranya adalah BPJS dan disebutkan dalam UU. Sedangkan pemerintah juga memandang perlu ada perlindungan pelaku olahraga dalam bentuk program jaminan sosial dan disebutkan dalam UU. Namun pemerintah menghapus norma penyelenggara jaminan sosial oleh BPJS.

"Berarti di sini kita berbeda, DIM DPR adalah oleh BPJS, baik itu BPJS Tenaga Kerja ataupun BPJS Kesehatan. Pemerintah tidak menyebutkan, berarti boleh yang lain kira-kira demikian," tuturnya.

Kemudian terkait suporter, DPR berpandangan suporter olahraga diatur dalam undang-undang. Sementara pemerintah menghendaki suporter tidak diatur di dalam undang-undang. "Apalah artinya olahraga tanpa suporter," ucapnya.

Sementara itu terkait pengalokasian dana, DPR memandang anggaran olahraga langsung dialokasikan kepada induk olahraga cabor. Sedangkan pemerintah tidak sepakat pengalokasian anggaran olahraga kepada induk olahraga cabor.

Isu yang juga tak kalah penting yaitu terkait perlunya status profesi atlet yang masih belum dianggap penting dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga sampai saat ini atlet masih dianggap sebagai kegiatan menyalurkan bukan pekerjaan profesional.

"Makanya mereka nggak dapat BPJS Tenaga Kerja, Pak, karena tidak masuk profesi," kata Dede.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement