Rabu 22 Sep 2021 19:06 WIB

Mengenal Manfaat Perdagangan Karbon untuk Indonesia

Pemerintah sedang perancang peraturan terkait nilai ekonomi karbon.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah burung bangau bertengger di pohon-pohon bakau di mangrove Pantai Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat, Jumat (3/9/2021). Selain sebagai pencegah abrasi pesisir, hutan bakau yang dikelola Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Karawang dengan dukungan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE-ONWJ) tersebut juga menjadi habitat bagi ribuan burung bangau dan sejumlah jenis satwa pesisir lainnya.
Foto: ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA
Sejumlah burung bangau bertengger di pohon-pohon bakau di mangrove Pantai Pasir Putih, Desa Sukajaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Karawang, Jawa Barat, Jumat (3/9/2021). Selain sebagai pencegah abrasi pesisir, hutan bakau yang dikelola Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Karawang dengan dukungan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE-ONWJ) tersebut juga menjadi habitat bagi ribuan burung bangau dan sejumlah jenis satwa pesisir lainnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Diskusi dan informasi mengenai perdagangan karbon saat ini semakin berkembang seiring dengan rencana pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Presiden terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Berdasarkan data dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Indonesia sendiri memiliki hutan hujan tropis ketiga terbesar di dunia dengan luas area 125,9 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sebesar 25,18 miliar ton.

Sedangkan luas area hutan mangrove di Indonesia saat ini mencapai 3,31 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon sekitar 950 ton karbon per hektar atau setara 33 miliar karbon untuk seluruh hutan mangrove di Indonesia. Indonesia juga memiliki lahan gambut terluas di dunia dengan area 7,5 juta hektar yang mampu menyerap emisi karbon mencapai sekitar 55 miliar ton.

Baca Juga

Dari data tersebut maka total emisi karbon yang mampu diserap Indonesia kurang lebih sebesar 113,18 gigaton. Jika pemerintah Indonesia dapat menjual kredit karbon dengan harga 5 dolar AS di pasar karbon, maka potensi pendapatan Indonesia mencapai 565,9 miliar dolar AS atau  setara dengan Rp 8.000 triliun.

CEO Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (ICDX), Lamon Rutten mengatakan, tujuan utama dari perdagangan karbon adalah untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Di sisi lain, sistem perdagangan karbon bisa dirancang dengan baik untuk tujuan kepentingan publik domestik dapat memberikan manfaat tambahan lingkungan dan sosial.

"Manfaatnya pun beragam, dan bergantung pada desain sistem perdagangan karbon yang diterapkan, mulai dari memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat, ketahanan energi, penciptaan lapangan kerja, dan perubahan penggunaan lahan,” kata CEO ICDX, Lamon Rutten dalam rilis, Selasa (31/9).

Beberapa manfaat dari perdagangan karbon yakni, pertama, mendukung tujuan  kebijakan publik. Perdagangan karbon dapat menghasilkan pendapatan fiskal. Regulator dapat menempatkan pendapatan ini untuk berbagai penggunaan, seperti mengalokasikan pendapatan untuk penelitian dan pengembangan aksi iklim, memberlakukan reformasi pajak, dan memberikan kompensasi bagi rumah tangga berpenghasilan rendah dari biaya energi yang lebih tinggi.

"Jumlah bantuan yang diberikan akan ditentukan oleh keadaan ekonomi lokal, pasar energi, dan pertimbangan politik," ujar Lamon.

Namun, studi terbaru menunjukkan bahwa 11-12 persen dari total pendapatan penetapan harga karbon di Amerika Serikat cukup untuk mengkompensasi seperlima rumah tangga  termiskin.

Kedua, meningkatkan kualitas udara. Sebuah studi dari 20 negara penghasil emisi terbesar memperkirakan bahwa rata-rata harga karbon sebesar USD 57,5/tCO2 akan menghasilkan nilai yang sama dari manfaat tambahan yang diperoleh di dalam negeri, yang terutama mencerminkan nilai pengurangan polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batu bara.

Advertisement
Berita Lainnya