Rabu 22 Sep 2021 10:12 WIB

ADB: Rebound Ekonomi Asia Terhalang Varian Delta

Varian delta memaksa negara-negara di Asia melakukan pembatasan mobilitas.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolandha
Pekerja menyelesaikan pembangunan Pasar Senen Jaya di Jakarta, Senin (16/8). Rebound ekonomi negara-negara berkembang Asia tahun ini dapat terhambat oleh penyebaran cepat varian virus corona Delta.
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Pekerja menyelesaikan pembangunan Pasar Senen Jaya di Jakarta, Senin (16/8). Rebound ekonomi negara-negara berkembang Asia tahun ini dapat terhambat oleh penyebaran cepat varian virus corona Delta.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Rebound ekonomi negara-negara berkembang Asia tahun ini dapat terhambat oleh penyebaran cepat virus corona varian delta. Asian Development Bank (ADB) pada Rabu (22/9) mendesak ekonomi negara-negara Asia untuk beradaptasi dengan kenormalan baru setelah Covid-19 untuk menopang pemulihan.

"Pertumbuhan di negara berkembang Asia, yang mengelompokkan 46 negara di Asia-Pasifik, diproyeksikan mencapai 7,1 persen tahun ini, turun dari perkiraan 7,2 persen pada Juli dan 7,3 persen pada April," kata ADB dalam pembaruan laporan Outlook Pembangunan Asia, dilansir di Reuters, Rabu (22/9).

Baca Juga

Meskipun melihat sedikit penurunan, perkiraan pertumbuhan tahun ini adalah perubahan haluan dari kontraksi 0,1 persen di kawasan itu tahun lalu. Untuk tahun 2022, ADB mempertahankan perkiraan pertumbuhan 5,4 persen untuk negara berkembang Asia.

Proyeksi pertumbuhan bukan tanpa risiko, kata ADB, mengingat ancaman yang ditimbulkan oleh munculnya varian baru virus corona, peluncuran vaksin yang lebih lambat dari perkiraan, dan berkurangnya efektivitas vaksin.

Wilayah ini telah mengimunisasi hampir 30 persen dari populasinya pada akhir Agustus, kata ADB, tertinggal dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan di Uni Eropa, yang telah memvaksinasi penuh lebih dari setengah populasi mereka.

"Asia berkembang tetap rentan terhadap pandemi Covid-19 karena varian baru memicu wabah, yang mengarah pada pembatasan baru pada mobilitas di beberapa negara," kata Pejabat Kepala Ekonom ADB Joseph Zveglich dalam sebuah pernyataan.

ADB mengatakan, jalur pemulihan di kawasan itu tetap tidak merata mengingat berbagai tingkat kemajuan negara-negara dalam mengatasi pandemi. China berada di jalur untuk tumbuh 8,1 persen tahun ini dengan laju ekspansi diproyeksikan melambat menjadi 5,5 persen tahun depan.

Direktur Divisi Penelitian Makroekonomi ADB Abdul Abiad mencatat dalam sebuah media briefing bahwa masalah utang pengembang properti China Evergrande, yang telah mengguncang pasar global, memerlukan pemantauan yang cermat.

"Perumahan adalah komponen penting dari ekonomi China. Jika sektor properti terkena dampaknya, itu bisa berdampak pada ekonomi China secara lebih luas," kata Abiad.

Tetapi jika default, Abiad mengatakan penyangga modal sistem perbankan China cukup kuat untuk menyerap kejutan bahkan untuk ukuran Evergrande.

ADB juga mempertahankan prospek pertumbuhannya untuk India pada 10,0 persen tahun ini dan 7,5 persen tahun depan.

Wabah baru varian delta berdampak pada ekonomi Asia Tenggara. Kawasan ini sekarang diproyeksikan tumbuh lebih lambat 3,1 persen tahun ini dari perkiraan Juli ADB sebesar 4,0 persen, dengan Myanmar yang dilanda perselisihan menderita penurunan lebih dalam 18,4 persen.

"Langkah-langkah kebijakan seharusnya tidak hanya fokus pada penahanan dan vaksinasi, tetapi reorientasi sektor ekonomi untuk beradaptasi dengan kenormalan baru setelah pandemi mereda untuk memulai pemulihan," kata Zveglich.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement