Senin 20 Sep 2021 13:05 WIB

Aktivis Klaim Demokrasi di India dalam Tekanan

Para aktivis menyatakan keprihatinan atas penerapan undang-undang tanpa perdebatan.

Red: Nur Aini
Website Anadolu - Aktivis mengatakan beberapa undang-undang baru diadopsi selama beberapa tahun terakhir tanpa perdebatan di Indiagency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS).  Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.
Website Anadolu - Aktivis mengatakan beberapa undang-undang baru diadopsi selama beberapa tahun terakhir tanpa perdebatan di Indiagency Memuat Ringkasan Berita-Berita yang Ditawarkan kepada Pelanggan melalui Sistem Penyiaran Berita AA (HAS). Mohon hubungi kami untuk memilih berlangganan.

 

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Meskipun para ahli dan aktivis masyarakat sipil di India mengklaim bahwa demokrasi di negara itu telah mengalami tekanan, pemerintah menyalahkan pihak oposisi karena tidak membiarkan perdebatan terjadi dengan cara mengganggu proses di parlemen.

Baca Juga

Aktivis mengatakan beberapa undang-undang baru diadopsi selama beberapa tahun terakhir tanpa perdebatan, yang membebani demokrasi di negara yang pernah menjadi model dalam kebebasan beragama dan keyakinan, model dalam kesatuan dalam keragaman.

Berbicara kepada Anadolu Agency pada kesempatan Hari Demokrasi Internasional, yang diperingati setiap 15 September setiap tahun, Medha Patkar, seorang aktivis masyarakat sipil terkemuka, menyatakan keprihatinan atas pengesahan undang-undang di parlemen tanpa perdebatan.

“Hukum telah ditegakkan. Dalam waktu 20 menit, 20 undang-undang disahkan di parlemen. Tidak ada artinya forum demokrasi, yang merupakan forum pembuatan undang-undang. Bahkan partai-partai oposisi dan perwakilan terpilih tidak diizinkan untuk berbicara,” kata dia.

Dia mengacu pada pengenalan dan pengesahan 20 RUU selama sidang parlemen terakhir pada bulan Juli, di mana di tengah gangguan, undang-undang tersebut disetujui tanpa diskusi. Lebih jauh lagi, seringnya digunakan undang-undang anti hasutan telah membuat masyarakat sipil selalu waspada menjadi korban UU tersebut.

Pada dengar pendapat atas petisi yang menantang keabsahan konstitusional undang-undang hasutan, pada Juli, Mahkamah Agung menggambarkan UU tersebut sebagai undang-undang era kolonial, yang diberlakukan oleh Inggris untuk menekan gerakan kebebasan India.

Penulis Debasish Roy Chowdhury mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa seperti terjadi di banyak tempat lain di dunia, pemerintah India saat ini menggunakan lembaga-lembaga demokrasi untuk merusak demokrasi.

“India menunjukkan bagaimana Anda dapat memiliki lembaga demokrasi di atas kertas dan mereka dapat dibuat tidak efektif oleh penguasa represif terpilih yang hanya menjaga penampilan demokrasi sambil melubangi setiap lembaga pemerintahan,” tambah dia.

Dia mengatakan kelompok sayap kanan menikmati kekebalan dan mereka mengancam untuk merobek jiwa inklusif India yang inheren.

“Kejahatan akibat kebencian yang menargetkan Muslim telah merajalela dan pidato yang mempermalukan mereka dan membungkam suara mereka terdengar setiap hari. Kehadiran budaya Muslim di negara ini berkurang dan mereka dijelekkan melalui informasi yang salah. Ini hanya beberapa dari banyak cara proyek membangun dominasi Hindu sedang dioperasionalkan secara bertahap, ”kata penulis.

Aktivis dan pakar juga menyatakan keprihatinan tentang penggunaan undang-undang anti-teror, yaitu Undang-Undang Pencegahan Aktivitas Melanggar Hukum (UAPA). Meskipun undang-undang tersebut ada dalam buku undang-undang selama lebih dari setengah abad, dalam beberapa tahun terakhir ketentuan yang ketat telah dimasukkan ke dalamnya.

Pemerintah menolak tuduhan

 

sumber : https://www.aa.com.tr/id/dunia/aktivis-klaim-demokrasi-di-india-dalam-tekanan/2368552
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement