Ahad 19 Sep 2021 16:43 WIB

Amnesty Kecam Insiden Penyerangan di Distrik Kiwirok

Penyerangan kelompok bersenjata terhadap warga sipil, terjadi di Distrik Kiwirok.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Muhammad Fakhruddin
Teroris Kelompok Kriminal Bersenjata membakar fasilitas umum di Distrik Kiwirok, Papua.
Foto: Antara
Teroris Kelompok Kriminal Bersenjata membakar fasilitas umum di Distrik Kiwirok, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Amnesty Internasional Indonesia mengutuk keras insiden penyerangan kelompok bersenjata yang membawa gugur petugas kesehatan (nakes) Gabriella Meilani di Distrik Kiwirok, Pegunungan Bintang, Papua.

Deputi Direktur Amnesty Wirya Adiwena meminta agar negara, melakukan pengusutan tuntas terkait insiden penyerangan yang menyasar masyarakat sipil, dan sejumlah perawat di wilayah timur pegunungan tengah Bumi Cenderawasih tersebut.

Wirya menegaskan, insiden penyerangan, dan kematian petugas nakes di Kiwirok, mencambah catatan buruk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Papua. Amnesty, kata dia, meminta agar aparat keamanan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Polri, maupuan kelompok bersenjata di Papua, agar menyudahi konflik yang menyasar fasilitas, maupun masyarakat sipil.

“Kami mendesak negara, untuk segera mengusut tuntas kematian perawat Gabriella,” kata Wirya, dalam rilis resmi Amnesty yang disampaikan kepada Republika di Jakarta, Ahad (19/9).

Amnesty, pun mendesak agar adanya penegakan hukum atas insiden kematian nakes tersebut, juga terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua. “Semua pelaku pelanggaran HAM, baik aparat keamanan, kelompok bersenjata, maupun warga biasa yang terbukti melanggar HAM harus diadili secara terbuka, efektif, dan independen di pengadilan sipil,” sambung Wirya.

Penyerangan kelompok bersenjata terhadap warga sipil, terjadi di Distrik Kiwirok, pada Senin (13/9). Serangan tersebut, mengakibatkan satu perawat meninggal dunia, dan empat lainnya mengalami luka-luka. Sekitar 300-an petugas kesehatan di wilayah tersebut, pun sejak akhir pekan lalu terpaksa diungsikan ke Jayapura. Menurut keterangan resmi dari Polda Papua, serangan tersebut, dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).

Serangan tersebut, menyasar bangunan-bangunan sipil, maupun milik pemerintah, berupa sekolah, bank, dan balai-balai kampung, serta fasilitas kesehatan, seperti puskesmas. Serangan itu juga menyasar rumah-rumah guru, maupun para perawat, dan nakes. Dikatakan, serangan serupa juga terjadi di Distrik Okhika, pada Selasa (14/9). Kejadian di Kiwirok, menjadi perhatian serius. Sebab dikatakan, kelompok bersenjata turut menyerang para petugas kesehatan, dan perawat, yang melakukan tugas kemanusian. KKB, juga membakar pemukiman.

Gabriella Meilani, seorang perawat meninggal dalam penyerangan tersebut. Ia jatuh ke jurang saat berusaha menyelamatkan diri bersama rekannya Kristina Sampe. Pasukan gabungan TNI-Polri, baru dapat menyelamatkan, dan mengevakuasi jenazah Gariella, dan rekannya yang masih hidup, beberapa hari setelah insiden penyerangan. Rilis resmi yang diterbitkan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB) mengaku bertanggungjawab atas penyerangan tersebut.

Juru Bicara TPN-PB Sebby Sambom mengatakan, pihaknya telah mengingkatkan agar warga sipil non-Papua untuk hengkang dari semua wilayah di Bumi Cenderawasih. Sebab dikatakan dia, saat ini Papua, maupun Papua Barat, adalah wilayah konflik bersenjata. Meskipun bertanggungjawab atas serangan di Kiwirok, maupun di Okhika, tetapi TPN-PB, menolak mengakui perbuatan melakukan pembunuhan terhadap nakes Gabriella. 

Meskipun begitu, Amnesty menilai, insiden penyerangan yang membuat Gabriella menyelamatkan diri dan berujung tak bernyawa, adalah bentuk dari pembangkangan terhadap pengakuan hak untuk hidup. “Kami sangat menyesalkan dan mengecam keras terjadinya insiden yang membuat perawat Gabriella terpaksa lari dan menyelamatkan diri. Serangan, penyiksaan, dan perbuatan yang merendahkan martabat manusia apapun, apalagi sampai yang mengarah ke pembunuhan di luar hukum tidak bisa dibenarkan. Hak untuk hidup adalah hak fundamental.” ujar Wirya melanjutkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement