Ahad 19 Sep 2021 15:56 WIB

Lonjakan Sampah Plastik Meningkat Selama Pandemi di Dunia

Sampah plastik, seperti sarung tangan, masker, hingga APD meningkat selama pandemi.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nora Azizah
Sampah plastik, seperti sarung tangan, masker, hingga APD meningkat selama pandemi.
Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Sampah plastik, seperti sarung tangan, masker, hingga APD meningkat selama pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di seluruh Brasil, pabrik daur ulang berhenti beroperasi selama berbulan-bulan. Di Uganda, tempat barang rongsokan kekurangan plastik yang dapat digunakan kembali. Dan di ibu kota Indonesia, sarung tangan sekali pakai dan masker menumpuk di muara sungai.

Lonjakan konsumsi plastik dan kemasan selama pandemi telah menghasilkan tumpukan sampah. Tetapi karena ketakutan akan COVID-19 telah menyebabkan penghentian pekerjaan di fasilitas daur ulang. Beberapa bahan yang dapat digunakan kembali telah dibuang atau dibakar sebagai gantinya.

Baca Juga

Pada saat yang sama, volume tinggi alat pelindung diri, atau APD, telah salah diklasifikasikan sebagai berbahaya menurut para ahli limbah padat. Material tersebut seringkali tidak diperbolehkan masuk ke tempat sampah biasa, sehingga banyak yang dibuang ke dalam lubang bekas pembakaran atau sebagai sampah.

Pakar limbah padat Amerika Serikat (AS), James Michelsen, mengatakan, masalah dalam kedua kasus tersebut adalah ketakutan awal bahwa virus corona dapat menyebar dengan mudah melalui permukaan. Ini telah menciptakan stigma yang sulit digoyahkan terkait penanganan sampah yang sangat aman.

Banyak ilmuwan dan lembaga pemerintah sejak itu menemukan bahwa ketakutan akan penularan melalui permukaan sangat berlebihan.

"Tetapi kebiasaan lama sulit dihilangkan, terutama di negara-negara di mana pedoman pembuangan limbah belum diperbarui dan para pejabat masih sibuk memerangi wabah baru," kata Michelsen dilansir dari New York Times pada Ahad (19/9).

Michelsen memantau tingkat daur ulang turun tajam di seluruh dunia tahun lalu, sebagian karena permintaan dari produsen turun. Di banyak negara di mana industri daur ulang masih didorong oleh penyortiran tangan, bukan mesin, pekerjaan tatap muka ditangguhkan karena ketakutan terkait virus.

Michelsen merujuk sebuah studi menemukan selama periode penangguhan, setidaknya 16.000 ton lebih sedikit bahan daur ulang dari biasanya yang beredar, mewakili kerugian ekonomi sekitar 1,2 juta dolar AS per bulan untuk asosiasi pemulung. Tingkat daur ulang pun sekarang beringsut kembali ke tingkat sebelum COVID di negara maju.

"Sebagian besar APD tidak berbahaya, tetapi banyak negara masih mengklasifikasikannya seperti itu. Itu berarti sarung tangan dan masker bekas sering disamakan dengan limbah medis yang benar-benar berbahaya," ujar Michelsen.

Michelsen mengungkapkan kekhawatiran yang muncul sebagai akibat banjir material seperti APD, masker, sarung tangan. Ini bisa menciptakan tekanan baru pada otoritas lokal, jarum suntik dan limbah medis yang benar-benar berbahaya lainnya hingga mungkin berakhir di tempat yang salah.

"Bahkan karena jarum suntik dan botol vaksin adalah komoditas berharga di pasar gelap, geng kriminal memiliki kesempatan untuk mencuri peralatan vaksinasi dan secara ilegal menjualnya kembali," ucap Michelsen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement