Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Sultan

Tantangan BPS Dalam Mewujudkan 1 Data Untuk Semua Kebutuhan Warga

Teknologi | Friday, 17 Sep 2021, 12:58 WIB

Masalah data akhir-akhir ini terutama beredarnya data pribadi ke publik menjadi momok menakutkan di masyarakat. Penulis seringkali mendapatkan pesan aneh melalui kontak telepon pribadi dari seseorang atau mengatasnamakan pihak tertentu. Mulai dari pesan yang menginfokan bahwa menjadi pemenang undian tertentu hingga menang permainan judi, dari tawaran pinjaman online hingga tagihan pelunasan pinjaman, dari tawaran mengikuti workshop hingga menjadi narasumber, dari tawaran asuransi hingga kartu kredit, dan masih banyak lagi pesan lainnya. Kesemuanya itu hanyalah pesan sampah yang bisa berakhir penipuan.

Beberapa hari yang lalu, beredar di berbagai media sosial Nomor Induk Kependudukan (NIK) Presiden RI Joko Widodo. Kejadian ini bukanlah sesuatu yang baru. Tetapi, terjadinya kebocoran data pribadi pejabat negara apalagi seorang Presiden ke publik tentu merupakan suatu tamparan dan peringatan keras bahwa sistem keamanan data warga negara di Indonesia masih sangat lemah, sehingga sangat mudah diakses dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sungguh sangat disayangkan, tetapi itulah faktanya.

Anda pasti akan kaget jika dihubungi oleh oknum yang secara vulgar menyebutkan satu per satu data pribadi dengan lancar seolah oknum tersebut merupakan bagian dari keluarga dekat. Anda bukannya segera meresponnya, tetapi terkejut dan terdiam atas apa yang didengarkan saat itu. Jika pada situasi demikian anda lengah, maka bisa saja anda menjadi korban kejahatan penipuan.

Apa yang dialami penulis dan Presiden RI Joko Widodo hanya dua pengguna dari ratusan juta pengguna telepon selular menjadi korban penyalahgunaan data pribadi oleh oknum tertentu tanpa persetujuan pemilik data. Mungkin saja pembaca juga pernah mengalaminya dan sudah menjadi salah satu korbannya. Apa, siapa dan dimana mereka memperoleh data pribadi, dan mengapa hal ini bisa terjadi serta bagaimana mencegahnya?. Pertanyaan ini masih saja menyelimuti pikiran banyak orang, apalagi di era teknologi informasi saat ini dengan begitu mudahnya mendapatkan data seseorang tanpa harus meminta kepada pemilik data.

Telah banyak yang menjadi korban dari oknum pelaku kejahatan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya korban kejahatan penipuan melalui teknologi informasi. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Publikasi Statistik Kriminal 2020 melaporkan tingkat risiko terkena tindak kejahatan setiap 100 ribu penduduk ditemukan sebanyak 103 korban. Sedangkan jumlah kejahatan terkait penipuan sebanyak 39.320 kasus termasuk kejahatan melalui pemanfaatan teknologi informasi.

Biasanya seseorang tidak menyadari dirinya menjadi korban kejahatan disebabkan penyalahgunaan datanya yang begitu mudahnya didapat oleh oknum penipu. Mereka lupa bahwa data pribadi biasanya dicatat dan diinput saat melakukan transaksi tertentu terutama dalam kelengkapan persyaratan administrasi.

Mulai dari pengurusan administrasi kependudukan hingga keperluan pelaporan harta kekayaan, dari kebutuhan administrasi sekolah anak hingga pendataan bantuan sosial, dari pendaftaran pelanggan telepon dan internet hingga pengisian pulsa, dari kebutuhan perbankan hingga pelunasan pinjaman, dari keperluan asuransi jiwa hingga administrasi kematian, dari pendaftaran akun di perangkat teknologi untuk menunjang kerja sehari-hari hingga penutupan akun media sosial, dan masih banyak lagi keperluan yang membutuhkan informasi pribadi.

Fenomena kebocoran data pribadi telah menjadi sorotan publik dan perhatian pemerintah serta lembaga legislatif. Saat ini sedang dilakukan pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang bertujuan untuk melindungi hak warga terkait data pribadi agar tidak disalahgunakan oleh oknum atau pihak tertentu. Upaya ini diharapkan menjadi angin segar yang telah cukup lama dinantikan oleh warga Indonesia agar data pribadinya bisa aman dan dilindungi UU.

Setiap orang menginginkan data pribadinya aman dan tidak disalahgunakan oleh pihak lain tanpa sepengetahuan dan izin darinya. Meskipun saat ini RUU sudah dibahas untuk nantinya ditetapkan sebagai sebuah UU PDP, namun belum diketahui efektivitas saat UU tersebut diberlakukan. Sembari menanti pengesahan dan pemberlakuan UU PDP, sebaiknya perlu diupayakan strategi pengelolaan satu data untuk segala kebutuhan. Mengapa hal ini penting? Seseorang akan merasakan kenyamanan jika dalam pemenuhan setiap kebutuhannya tidak harus memberikan datanya lagi dan lagi.

Selain itu, tersedianya satu data akan meminimalkan potensi penyalahgunaan data oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Pada akhirnya, data diri setiap orang yang terpusat dan terkoneksi dengan pemilik dan pihak yang membutuhkan data akan membuat pemiliknya tenang dan bebas dari risiko penipuan, sehingga persoalan data bukan lagi momok yang menakutkan setiap orang.

Sumber: bps.go.id

Lalu, bagaimana agar cukup satu data untuk memenuhi administrasi segala kebutuhan hidup seseorang?, dan memastikan bahwa data pribadi tersebut benar dan bukan rekayasa, sehingga dapat digunakan pihak tertentu tanpa menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Sudah saatnya menyerahkan pengelolaan data kepada ahlinya. Misalnya, BPS diberikan kewenangan tambahan untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan, dan mendistribusikan data seseorang kepada pihak tertentu atas persetujuan pemilik data. BPS telah memiliki lembaga dan struktur jelas yang cukup mumpuni dari pusat hingga daerah dan telah berpengalaman dalam mengelola data.

Tugas utama dan pertama BPS nantinya adalah melakukan verifikasi data pribadi dari semua sumber yang selama ini mengumpulkan data diri setiap orang. Hal ini tidaklah sulit bagi BPS karena memiliki segudang pengalaman dan telah tersedianya data setiap orang di semua level pemerintah, bahkan data tersebut sudah tersedia di tingkat RT. Selanjutnya, jika ditemukan adanya perbedaan data diri seseorang dari sumber-sumber data terdahulu, maka BPS dapat melakukan konfirmasi ulang ke pemilik data untuk dilakukan pembaharuan data.

Selama ini salah satu kelemahan dalam pengumpulan data yang sering dilakukan oleh oknum petugas pengumpul data adalah kebiasaan menggadakan atau mengkopi paste dari data tahun-tahun sebelumnya, sebagai akibatnya data yang terkumpul tidak update dan cenderung direkayasa. Oleh karena itu, terpusatnya data di satu lembaga seperti di BPS akan memudahkan lembaga atau pihak lainnya untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengembangkan sebuah kebijakan program yang tepat sasaran.

Kita biasa menyaksikan dan menemukan data ganda atau ketidaksesuaian data pada setiap level dan lembaga yang selama ini mengumpulkan dan menyimpan data. Sehingga seringkali terjadi kesalahpahaman dan ketidakpercayaan pihak tertentu terhadap data yang tersedia. Misalnya, setiap momentum pemilihan kepala daerah dan bahkan pemilihan presiden dan wakil presiden, permasalahan data masih tetap menjadi topik hangat untuk selalu diperdebatkan.

Tentunya kita berharap bahwa permasalahan data ini segera terselesaikan dan tidak menimbulkan kegemparan dan bahkan ketakutan di masyarakat. Olehnya itu, selain BPS juga dibutuhkan lembaga/badan pengawas independen, misalnya pembentukan Komisi Data Indonesia yang berfungsi memberikan pandangan dan evaluasi secara berkala terhadap BPS terkait pengelolaan data. Lembaga ini nantinya akan menjadi mitra BPS untuk menjamin keamanan penggunaan data pribadi setiap orang dari praktik penyalahgunaan.

Ketersediaan data yang terpusat dan terkoneksi secara terbatas (terbatas karena atas persetujuan pemilik data baru bisa dikoneksikan dengan pihak yang membutuhkan data) semakin memudahkan administrasi segala kebutuhan warga tanpa harus berulang-ulang membagikan data pribadinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image