Rabu 15 Sep 2021 14:30 WIB

Pukat UGM: KPK Bukan Penyalur Tenaga Kerja

Pukat UGM nilai pimpinan KPK tak bisa berhentian pegawainya tak lolos TWK

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bayu Hermawan
Logo KPK
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Logo KPK

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM, Zainur Rahman, menilai pimpinan KPK tidak bisa memberhentikan sepihak pegawainya yang tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), karena bertentangan dan melanggar putusan Mahkamah Agung (MA). Hal ini terkait kabar pimpinan KPK yang akan memberhentikan pegawainya yang tak lolos TWK pada 1 Oktober nanti.

Karena dalam putusan MA tersebut, jelas dia, tindaklanjut atas keputusan TWK KPK menjadi kewenangan pemerintah atau presiden, bukan KPK. Artinya KPK tidka memiliki kewenangan menindaklanjuti hasil TWK, termasuk memecat pegawainya. Kewenangan itu ada di presiden atau bawahannya di pemerintah.

Baca Juga

Kemudian Undang Undang 19 tahun 2019 juga memberi batasan waktu maksimal dua tahun untuk pegawai KPK dialihstatuskan menjadi ASN. Artinya tidak ada urgensi untuk memberhentikan pegawai KPK, apalagi pemberhentian itu berlawanan dengan UU dan putusan MA.

"Jadi menurut saya jika pemberhentian itu benar dilaksanakan, maka itu merupakan pelanggaran hukum, pembangkangan terhadap putusan MA karena dilakukan tanpa kewenangan, yang mana kewenangan ada di pemerintah," jelasnya.

Selain kabar pemberhentian per 1 Oktober, wacana lain juga muncul dengan menyalurkan pegawai KPK yang TMS dari TWK untuk bekerja ke institusi lain. Wacana yang muncul adalah mereka akan dipekerjakan BUMN. Zainur menilai justru cara itu juga bagian dari penggembosan integritas KPK.

"Tawaran untuk bekerja di BUMN itu bisa jadi strategi untuk menggembosi perlawanan pegawai KPK yang masih memiliki integritas sangat baik dalam pemberantasan korupsi," ujarnya.

Karena memang KPK tidak memiliki kewenangan menempatkan eks pegawainya ke instansi lain. "KPK bulan penyalur tenaga kerja," tegasnya.

Jadi, Zainur menegaskan tidak bisa KPK menempatkan eks pegawainya di instansi lain, termasuk di BUMN. Kalaupun ada, KPK bekerjasama dengan instansi lain untuk menempatkan pegawai aktif ke instansi lain, untuk melakukan perubahan-perubahan agar instansi atau institusi tersebut jadi lebih bersih dari korupsi. Itu memungkinkan, dengan catatan dilakukan dengan kerjasama antara KPK dengan instansi lain.

"Artinya itu dilakukan dalam batasan waktu tertentu, bukan permanen jadi pegawai instansi lain. Itu bisa jadi program pencegahan. Tapi tidak mungkin bila dilakukan oleh eks pegawai," terangnya.

Zainur menilai upaya penggembosan ini dikarenakan syarat yang diajukan adalah harus mengundurkan diri terlebih dahulu. Jadi kalaupun disalurkan ke BUMN, sejatinya itu bukan program pencegahan korupsi, tapi upaya untuk menggembosi perlawanan pegawai, karena TWK sudah disebut maladministrasi oleh Ombudsman RI dan pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Dan bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menyerahkan keputusan hasil TWK KPK diserahkan ke Presiden, bukan kembali ke KPK. Sehingga Pimpinan KPK tidak memiliki hak memutuskan status pegawainya yang tak lolos TWK, karena diserahkan kembali ke presiden sebagaimana putusan MK dan MA.

"Maka ada strategi dari pimpinan KPK dengan mempekerjakan di instansi BUMN dengan cara mengundurkan diri terlebih dahulu. Maka saya melihatnya ini sebagai penggembosan," katanya.

Kalau melihat logika, menurutnya, justru aneh. Karena pimpinan KPK sejak awal bersikeras mereka tak lolos TWK, tapi justru ditawarkan bekerja di instansi lain. Maka kalau dilihat logika tersebut, jelas menurutnya, bahwa TWK yang kemarin memang tes asal-asalan yang banyak masalah, sesuai dengan temuan Komnas HAM dan Ombudsman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement