Rabu 15 Sep 2021 13:33 WIB

Pajak Karbon akan Hambat Pemulihan Ekonomi Nasional

Pungutan atas emisi karbon dinilai memiliki efek berganda yang signifikan.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi manufaktur. Rencana implementasi pajak karbon berisiko menekan daya beli masyarakat dan kontraproduktif dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Foto: Roman Pilipey/EPA
Ilustrasi manufaktur. Rencana implementasi pajak karbon berisiko menekan daya beli masyarakat dan kontraproduktif dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana implementasi pajak karbon berisiko menekan daya beli masyarakat dan kontraproduktif dengan misi Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Hal ini karena pungutan atas emisi karbon memiliki efek berganda yang signifikan.

Direktur Eksektutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pungutan pajak karbon memiliki risiko menurunnya daya beli masyarakat karena harga jual beberapa barang yang dikenai pajak menjadi lebih mahal.

"Pemulihan ekonomi pasca-Covid-19 memerlukan waktu lama sampai. Jadi kalau ekonomi baru mau pulih lalu dihajar dengan pajak pemulihannya bisa terhambat," ujarnya, Rabu (15/9).

Pajak karbon akan dikenakan kepada produsen atau menyasar sisi produksi. Adapun kebijakan ini memiliki konsekuensi berupa meningkatnya ongkos produksi sejumlah produk manufaktur.

Hal ini akan jadi beban bagi produsen dan konsumen dengan mengerek harga jual barang. Artinya, masyarakat menjadi pihak terakhir yang harus menanggung beban pajak karbon tersebut.

Selain itu, kebijakan ini juga tidak selaras dengan strategi pemerintah untuk menyehatkan ekonomi yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, yakni pengembangan UMKM. Menurutnya jika pajak karbon diterapkan, akselerasi UMKM dikhawatirkan terhambat karena kebijakan tersebut akan berpegaruh terhadap ongkos produksi yang dikeluarkan.

"Kebijakan ini juga berpotensi menghambat ekspansi bisnis pelaku usaha di dalam negeri karena biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal. Dengan kata lain, pajak karbon berisiko memangkas realisasi penanaman modal terutama yang berasal dari dalam negeri," ucapnya.

"Maka itu harus dipikirkan dampak dari kebijakan ini kepada industri-industri tertentu, karena industri yang terkena harus mempersiapkan diri," kata Fabby.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam menilai pajak karbon berpotensi menimbulkan 'the poor will be suffering', yakni masyarakat yang lemah atau miskin akan lebih menderita.

"Potensi terjadinya hal tersebut menurutnya akan terjadi sektor pertanian, mayoritas petani di Indonesia banyak menggunakan pupuk yang mengandung emisi karbon," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement