Selasa 14 Sep 2021 17:51 WIB

Legislator Dorong Pembenahan Struktur dan Budaya Hukum

Legislator mengatakan permasalahan di lapas sudah tahap akut.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/8).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (4/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani melihat permasalahan di lembaga pemasyarakatan (lapas) saat ini sudah dalam tahap akut. Karena itu, ia mengatakan, perlu pembenahan dari struktur hingga budaya hukum untuk menyelesaikan masalah tersebut. 

"Harus dibenahi struktur hukumnya, yaitu kelembagaannya, kelembagaan itu sendiri. Lalu harus dibenahi menurut teori sistem hukum, yaitu budaya hukumnya," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/9). 

Baca Juga

Dari budaya hukum, ia menilai penegakan hukum saat ini menjadi salah satu penyebab terjadinya kapasitas berlebih atau over capacity di lapas. Terutama pada kasus narkoba, ketika penggunanya juga dijebloskan ke dalam penjara, bukan direhabilitasi. 

Hal tersebut terlihat dari jumlah data yang diperoleh Komisi III yang menyebutkan bahwa jumlah tahanan narkoba di lapas mencapai 50 persen. Karena itu, wajar jika banyak lapas mengalami kapasitas berlebih dari puluhan hingga ratusan persen. 

"Budaya penegakan hukum kita, budaya penegakan hukum kita belum murni dan konsekuen sesuai dengan politik hukum yang kita letakkan," ujar Arsul. 

Terkait struktur hukum, ia menyampaikan bahwa ada sejumlah usulan fraksi yang menginginkan lapas memiliki badan tersendiri yang mengurusnya dan bukan lagi berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). "Tetapi mayoritas fraksi sudahlah, sebab persoalannya tidak di kelembagaan. Menurut kita ada di itu tadi, budaya penegakan hukum," ujar Arsul. 

Untuk itu, ia mendorong penyelesaian revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (RUU PAS). Namun, pembahasannya pada 2019 terkendala protes masyarakat terhadap revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

"Undang-Undang ini pertama meletakkan prinsip yang disebutnya sebagai Mandela Rules. Jadi ada konvensi internasional yang melindungi orang-orang yang haknya sedang terampas, jadi yang namanya warga binaan diatur yang standar internasionalnya," ujar wakil ketua MPR RI itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement