Senin 13 Sep 2021 20:49 WIB

Taliban, Polarisasi dan Oposisi

Di Indonesia, banyak yang mengglorifikasi kemenangan Taliban di Afghanistan

Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia
Foto: Dokpri
Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Zulfan Tadjoeddin, Associate Professor in Development Studies, Western Sydney University, Australia

Kelompok Taliban kembali berkuasa di Afghanistan. Buah perjuangan dan determinasi selama dua puluh tahun.

Di Indonesia, banyak yang mengglorifikasi kemenangan Taliban ini, sebaliknya banyak pula yang khawatir akan imbasnya ke Tanah Air. Sepertinya, pola ini mengikuti polarisasi sejak 2014. 

Polarisasi adalah keadaan di mana populasi bergerak ke arah memisah menjadi dua kelompok besar. Secara matematis tingkat polarisasi bisa dihitung, ada rumusnya. Polarisasi berbeda dengan fragmentasi. Jika polarisasi berada di sumbu vertikal dan fragmentasi pada sumbu horizontal, maka hubungannya seperti U-terbalik. 

Masyarakat Indonesia saat ini sangat terpolarisasi. Mendukung pemerintah atau tidak. Membenci Jokowi atau tidak. Mau vaksin atau tidak. Ada sedikit yang berada di tengah-tengah, tetapi proporsinya terus mengecil. 

oOo

Secara politik pragmatis, polarisasi sejak 2014 berkelindan erat dengan oposisi terhadap pemerintah. Ada kelompok yang konsisten berada di luar pemerintahan. Saat ini, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat (PD) menjadi oposisi. Tapi PKS jauh lebih kuat dan solid.

PKS tidak ikut di gerbong Presiden Jokowi sejak berkuasa mulai tahun 2014. PKS tidak pernah ditawari posisi kabinet. PKS seperti oposisi abadi buat Jokowi, padahal partai ini ikut mengusung Jokowi waktu ia bertarung di Pilkada Solo tahun 2005. Sebelum 2014, PKS selalu mendapat jatah kursi di kabinet.

Walaupun ber-patron pada gerakan Ikhwanul Muslimin asal Mesir, soal paham “Islam trans-nationalist” PKS mirip-mirip dengan Hizbut Tahrir (HT). Dalam hal jumlah kader di luar negeri, PKS adalah partai nomor satu. Mereka memiliki sistem kaderisasi yang baik dan kader-kader yang militan. PKS adalah representasi terbaik dan tersolid dari “Islam politik” di Tanah Air saat ini. 

Soal ideologi dan kader inilah yang tidak dimiliki PD. Saat ini, tak satu pun gubernur yang merupakan kader Demokrat. Sebaliknya PKS punya dua Gubernur, di Sumbar dan NTB. PKS menang Pilgub tiga kali berturut-turut di Sumbar. 

oOo

Soal oposisi total dan konsisten sejak 2014 inilah yang berbuah pada polariasi politik yang semakin akut di Indonesia. Jika di negara demokrasi maju, politik mereka umumnya terpolarisasi menjadi dua kubu: kanan-tengah atau kiri-tengah. Seperti di Amerika Serikat ada Partai Republik dan Partai Demokrat, sementara di Inggris ada Partai Konservatif dan Partai Buruh. 

Di Indonesia, polarisasi politik berwujud dalam bentuk kubu “Islamis-transnasionalis” dan kubu “nasionalis”. Sayang sekali, kita tidak lagi melihat pertentangan antara “kanan” dan “kiri”. Di Indonesia, semuanya telah menjadi “kanan”, karena “kiri” sudah diharamkan sejak pertengahan tahun 1960an. 

Karena masyarakat Indonesia mayoritas menganut agama Islam, yaitu sekitar 87%, sejatinya ini adalah pertarungan dalam Islam (the battle within Islam). Intinya berupa pertarungan antara kelompok yang mengidamkan homogenitas Islam yang cenderung eksklusif dan sektarian, melawan mereka yang sangat menyadari bahwa Indonesia itu majemuk (plural), terdiri dari berbagai suku, ras dan agama.  

Polarisasi dalam masyarakat Islam Indonesia bisa disederhanakan menjadi  pertentangan antara kaum “eksklusif-sektarian” dan kaum “pluralis”.  Kelompok pertama akan bergabung ke kubu “Islamis-transnasionalis”. PKS dengan gerakan dakwahnya jelas berada di kubu ini. 

Kelompok kedua (pluralis) cenderung akan bergabung ke kubu “nasionalis”. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan cenderung ke kubu ini. Tokoh-tokoh Muslim seperti Ahmad Syafii Maarif dan Said Aqil Siradj juga akan cenderung untuk berafiliasi dengan kubu nasionalis. 

Polarisasi ini bisa ditarik jauh ke belakang ke perdebatan soal penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tentang penerapan syariat Islam bagi pemeluknya. Jadi, polarisasi ini tak bisa dipisahkan dari ruh bangsa dan negara Indonesia. Dan ini adalah tantangan nyata Indonesia ke depan.

Jika demikian, berkaca pada dua Pilpres terakhir, apakah Prabowo merupakan representasi “Islam-transnasionalis”? Tidak sama sekali. Secara pribadi, Prabowo itu nasionalis. Hanya saja, dia terlalu pragmatis untuk mau menggunakan bantuan kendaraan kaum Islam-transnasionalis.

Kubu Islam-transnasionalis memilih Prabowo karena mereka tidak memiliki tokoh dengan elektabilitas cemerlang dan Prabowo mau memberi konsesi yang cocok. 

Sekarang, harapan terbaik bagi kubu Islam-transnasionalis adalah Anies Baswedan. Mungkin PKS perlu mempertimbangkan untuk mengangkat Anies menjadi Presiden partai tersebut setelah dia menyelesaikan jabatan Gubernur DKI tahun 2022 nanti.

Dan pasangan terbaik buat Anies adalah AHY. Sehingga PKS dan Demokrat bisa berkoalisi dengan baik di Pilpres 2024. Anies-AHY akan mewakili kubu Islam-transnasionalis melawan pasangan dari kubu nasionalis.

oOo

Polarisasi ini berkaitan erat dengan oposisi. Berkaitan pula dengan model demokrasi yang kita anut, yaitu model  “majoritarian”. Ini mengikuti model AS, Inggris dan banyak negara lainnya.

Demokrasi majoritarian menganut prinsip bahwa pemenang mendapatkan semua, winner takes all. Pihak yang kalah harus berada di luar kekuasaan eksekutif, bisa gigit jari. Mereka harus terus berjuang untuk bisa menang di proses elektoral berikutnya. 

Kompetisi elektoral kita sangat kompetitif, jauh lebih kompetitif dibanding Amerika. Pemilihan langsung melalui popular vote diselenggarakan di semua level pemerintahan, mulai dari Presiden sampai Kepala Desa.

Dengan pemilu legislatif yang menggunakan sistem proporsional terbuka, seorang calon legislatif (caleg) tidak hanya harus mengalahkan caleg dari partai lain, dia juga harus bertempur dengan caleg dari partai mereka sendiri. Maka, dalam hal kompetisi elektoral ini, kita lebih Amerika dibanding Amerika. 

Di samping model demokrasi majoritarian, ada satu model lagi, yaitu model demokrasi “consociational”, seperti diusulkan oleh Arend Lijphart. Demokrasi “consociational” mengutamakan konsensus dan power-sharing.

Biasanya konsensus dicapai melalui proses deliberasi yang alot dan lama. Katanya, model ini cocok untuk masyarakat multi-etnis. Model ini berjalan dengan baik di Belanda, Belgia dan Swiss.

Lebanon mencoba model ini consociational ini, tetapi tidak berhasil.  Jabatan presiden dialokasikan untuk Kristen Maronite, posisi perdana menteri untuk Sunni, sementara Syiah mendapatkan kursi ketua parlemen.

Sistem power-sharing itu merefleksikan komposisi penduduk Lebanon. Tetapi negara itu tak kunjung damai. Irak mencoba model yang sama sejak invasi AS tahun 2003, tetapi bernasib sama dengan Lebanon, selalu berkecamuk.

oOo

Dulu, Presiden SBY sebenarnya mencoba melawan model demokrasi majoritarian yang secara formal kita anut. Semua ingin dia rangkul dan dia berhasil. Dia menganut prinsip “thousands friends, zero enemy.”

Saat itu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memang tidak mau masuk kabinet, tetapi Taufiq Kiemas mendapatkan kursi Ketua MPR. Partai Gerinda tidak masuk kabinet SBY karena kabarnya persyaratan yang mereka ajukan terlalu tinggi. 

Intinya, SBY membuat koalisi besar di mana semua kekuatan politik mendapat bagian. Suka atau tidak, inilah resep kunci dari stabilitas politik dua periode pemerintahan SBY, sesuatu yang tidak dimiliki dan tidak dinikmati oleh pemerintahan Jokowi saat ini. Jokowi selalu digoyang oleh Islam politik.

oOo

Sejak transisi demokrasi tahun 1999, PKS hampir selalu masuk kabinet. Islam politik selalu kebagian. Situasi berubah seratus delapan puluh derajat sejak 2014. Di sinilah awal polarisasi sosial dan politik yang kita saksikan sampai saat ini. 

Polarisasi itu sepertinya makin mengeras. Polarisasi itu memerlukan proses kanalisasi politik.  Dalam hal ini, sepertinya, Indonesia perlu menimbang kedua model demokrasi tersebut, “majoritarian” dan “consociational”, serta kemungkinan variasi dan modifikasinya.   

Sejatinya, demokrasi adalah proses yang bersifat coba-coba, “trial and error”, tidak bisa di “copy and paste”. Setiap bangsa harus ber-ijtihad menemukan model yang terbaik untuk diri mereka, Indonesia bukanlah pengecualian. Mencari rujukan boleh, copy-paste jangan. 

Untuk tanggapan dan respons atas artikel ini bisa menghubungi email penulis: [email protected]   

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement