Ahad 12 Sep 2021 17:31 WIB

Ulasan Novel Dayon Karya Akmal N Basral

DAYON adalah novel ke-20 sastrawan Indonesia bernama Akmal Nasery Basral

Novel Dayon Karya Akmal N Basral
Foto: Penulis
Novel Dayon Karya Akmal N Basral

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh Dr Ruruh Mindari, Dosen Tetap di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP Unika Widya Mandala Surabaya

DAYON adalah novel ke-20 sastrawan Indonesia bernama Akmal Nasery Basral yang salah satu karyanya adalah Sang Pencerah (2010) yang telah difilmkan. 

Singkatan dari Uda Boyon, DAYON sangat unik karena mengusung tema yang jarang diangkat, yakni perjalanan hidup seorang anak di daerah terpencil di Sumatera Barat yang punya hobi nonton film nasional sampai akhirnya menjadi seorang sutradara berprestasi. Tokoh utama novel ini seorang anak laki-laki bertubuh subur bernama Jems Boyon yang lahir dari pasangan penggarap sawah di dusun Kapau tak jauh dari Bukittinggi.

Disajikan secara flashback, cerita diawali dengan aktivitas pengambilan gambar film “Asmara Tanah Musamus” di Merauke, Papua. Di bagian ini  diperkenalkan pemeran utama wanita, Sabai Rangkayo Sunwoo, seorang model anggun blasteran Minang-Korea, pemeran utama pria, Levianus Kanum, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih yang asli Papua, dan juga beberapa awak film.

Pada waktu istirahat, ada kejutan besar. Sabai menyampaikan berita bahwa film karya Jems Boyon berjudul Ode to My Father terpilih sebagai salah satu official selection di Sundance Film Festival. Inilah titik tolak cerita selanjutnya karena atas permintaan Sabai, Dayon menceriterakan kisah di balik Ode to My Father, yang merupakan kisah hidupnya sendiri. 

Cerita berlanjut dengan kelahiran Boyon yang prematur karena dalam kondisi hamil tua, maknya dibonceng abaknya melewati jalan berbatu-batu sepulang nonton bioskop di Bukittinggi.

Boyon tumbuh di nagari Kapau yang terkenal dengan nasi Kapaunya yang lezat dan alamnya yang masih asli dengan jalannya yang berbatu-batu, sawah, ladang jagung, tumbuhan semak belukar, berbagai pohon buah dan dikelilingi oleh beberapa perbukitan. Di hutan daerah situ terdapat berbagai binatang termasuk burung kuau raja (semacam merak) yang keindahannya memukau dengan panjang dua meter lebih. 

Boyon kecil sangat menikmati kehidupannya sampai suatu hari dia mengikuti ajakan dua sahabat kecilnya, Iip dan Ina, kakak beradik keturunan Belanda, untuk pergi ke hutan melihat kuau raja dari dekat. Di sinilah konflik awal terjadi karena, dalam petualangan tersebut, Boyon tidak sadar bahwa dia sedang “pergi bermain” ke hutan bersama dengan dua makhluk halus. 

Dia baru sadar setelah diketemukan tetangganya di hutan dan dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Peristiwa ini menggemparkan kampung yang telah kehilangan Boyon beberapa lama. Sejak saat itu, di rumah Boyon semakin sering diadakan tadarus membaca kitab suci untuk mengusir makhluk halus dan dua “teman” Boyon tidak datang-datang lagi.

photo
Novel Dayon Karya Akmal N Basral - (Penulis)

Beberapa tahun kemudian Boyon mulai bersekolah. Banyak teman sekampungnya yang satu kelas dengannya. Di sini mulai kelihatan karakter Boyon yang peduli pada kawan dan cerdas tapi juga ada usilnya. 

Di masa sekolah dasar ini pula “dua sahabat kecilnya” pernah menampakkan diri di tepi jalan pada waktu Boyon berjalan pulang sendirian setelah mengantar Ijaf, temannya yang manja. Selain bersekolah, Boyon juga belajar pencak silat dan mengaji di surau. Dia seorang siswa yang baik dan cerdas, namun karena keisengannya melepaskan 10 ekor katak dan 16 belut di tempat teman-temannya yang sedang tidur lelap suatu malam, dia pernah dihukum berat oleh Buya Zakaria, gurunya.

Setamat SD, Boyon belajar di sebuah SMP di kota kecamatan Tilatang Kamang dengan bersepeda. Ijaf, temannya sejak SD yang anak orang kaya, punya video player baru yang memungkinkan Boyon dan beberapa temannya nonton film di rumahnya. Salah satu film yang disukai Ijaf dan Boyon adalah film laga 007 dengan jagoannya bernama James Bond. Saat itulah Boyon sadar bahwa namanya, Jems Boyon, sangat mungkin diambil oleh abaknya dari tokoh ini meskipun kurang persis. 

Selepas SMP, Boyon bersekolah di SMA 2 Bukittinggi bersama dengan tiga teman sekampungnya. Boyon merupakan gabungan dari sifat ketiga kawannya—suka bersenang-senang seperti Jeff (Ijaf), rajin beribadah seperti Ibnu, tapi juga sering bolos seperti Zul. 

Bedanya, nilai-nilai pelajaran Boyon lebih tinggi. Dia tinggal disebuah kamar kontrakan dengan fasilitas minim namun dekat dengan sekolahnya. Dia tidak mau lagi dibiayai orangtuanya dan bekerja apa saja asalkan halal di luar jam sekolah seperti bermain musik di hajatan atau menulis cerpen dan puisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. 

Karena haus informasi tapi tidak punya uang untuk membeli koran atau majalah, dia berterus terang kepada seorang pemilik toko buku dan distributor koran, Bandaro Sinaro, yang kemudian mengijinkannya membaca gratis setiap hari dan bahkan meminjaminya roman-roman terbitan Balai Pustaka. 

Boyon bahkan diajari bagaimana mengoperasikan kamera oleh pemilik toko buku yang dermawan ini. Ketika Bandaro Sinaro meninggal, Boyon sangat sedih dan kecewa karena isteri Sinaro langsung mengusirnya begitu melihat Boyon. 

Dalam kemarahannya, dia sering bolos sekolah untuk melihat orang melukis Ngarai Sianok atau ke bioskop-bioskop. Boyon tidak pernah beli tiket untuk nonton film karena dia kenal dengan penjaga pintu di tiga bioskop tersebut yang ketiganya sering dia hadiahi batu akik, salah satu pekerjaan sambilannya. 

Salah satu penjaga bioskop tersebut adalah Ajo Ronal yang menawarkan pada Boyon untuk menonton gratis film-film nasional lama karya sutradara ternama seperti Arifin C. Noor, Teguh Karya, Syumandjaja, Wim Umboh, atau Slamet Rahardjo di malam hari setelah jam operasional. Boyon sangat menikmati nonton film ini biarpun untuk itu dia harus sering pulang lewat tengah malam dengan sepedanya. 

Di sini ada hal yang menarik. Sebagai anak sekolah, Boyon sangat mementingkan hobinya dan sering bolos, namun dia bertanggungjawab. PR selalu dia kerjakan biarpun hanya dititipkan teman untuk menyerahkannya, dan dia selalu menduduki tiga besar. Pada saat kelulusan SMA, dia diputuskan sebagai juara umum ke tiga. Sesuatu yang dia sendiri sulit untuk percaya. 

Karena dia dari kelas Fisika, maka dia direkomendasikan untuk kuliah di ITB atau UI jurusan Teknik Industri. Namun, tekadnya bulat untuk belajar di IKJ karena cita-citanya adalah menjadi aktor ternama. 

Singkat cerita, Boyon dengan semangat tinggi belajar di IKJ, tamat tepat waktu sebagai lulusan terbaik angkatannya, dan mendapat beasiswa untuk studi nongelar di Busan, Korea. Sebuah kejutan besar yang terungkap setelah ayahnya wafat ialah bahwa ternyata fasilitas nonton film gratis yang dia dapat selama di SMA ternyata diatur almarhum diam-diam demi mengarahkan masa depan anak tercintanya. 

Inilah yang kemudian mendorong Boyon untuk mempersembahkan rasa terima kasihnya kepada almarhum ayahnya berupa sebuah film “Ode to My Father” setelah digerakkan oleh Marc, dari The Hollywood Reporter yang mewawancarainya bagaimana dia menjadi sutradara. 

Diceriterakan kemudian ketika Boyon ke Utah untuk menghadiri Festival Film Sundance di mana “Ode to My Father” adalah salah satu film pendek dari Asia yang diputar. Film ini tidak mendapatkan penghargaan apa-apa, namun keikutsertaannya di festival internasional ini adalah suatu pencapaian besar yang sangat berarti bagi Boyon, apalagi, di sela-sela aktivitas festival ini, sang sutradara mendapatkan cinta Sabai Rangkayo Sunwoo, pemeran utama dalam karya-karyanya.

Novel ini sangat menarik sekaligus berkualitas antara lain karena hal-hal sebagai berikut:

1. Mengenalkan kekayaan Nusantara dengan menggunakan setting sebuah dusun di tanah Minang dan juga Merauke di Papua tetapi juga menyajikan pengalaman internasional di Korea.

2. Gaya penuturan yang segar dan lincah membuat pembaca enggan berhenti membaca. Di awal cerita saja, saya sudah terpikat dengan personifikasi yang mengejutkan dalam kalimat berikut, “Cut! Cut!” Suara parauku menyobek angkasa. (hal.1) atau simile dalam kalimat yang lain ketika menggambarkan aktor Sylvester Stallone “Aku tiru gaya bicaranya yang seperti sapi mengunyah kelereng. Pandangan matanya yang separuh mengantuk tak masalah bagiku.” (hal. 161-162) 

3. Merupakan sebuah potret masa kecil anak Indonesia yang begitu natural dan mengingatkan pembaca akan pengalaman-pengalaman masa kecilnya yang khas dan tak terlupakan yang membuat mereka tersenyum.

4. Adanya pengalaman mistis, yakni pertemanan tokoh utama dengan Iip dan Ina, dua anak Belanda kakak beradik yang ternyata makhluk halus korban kekejaman tantara Jepang., sangat menghidupkan cerita, sekaligus juga memperkenalkan pada pembaca keindahan burung kakau, salah satu kekayaan Nusantara yang tidak banyak diketahui orang.

5. Ada pesan untuk menghargai perjuangan orangtua, yang dalam keterbatasannya sangat memahami dan berusaha membahagiakan anaknya. 

6. Menyiratkan kerja keras dan semangat untuk mewujudkan impian tanpa harus kehilangan rasa humor dan sifat-sifat khas anak-anak dan remaja yang kadang-kadang iseng dan konyol.

Di tengah-tengah budaya digital yang cenderung membuat anak muda enggan membaca teks-teks yang agak panjang ini DAYON hadir dengan segar dan unik. Sangat layak untuk dibaca segala usia karena menarik sekaligus edukatif.

Surabaya, 11 September 2021

-RM-

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement