Sabtu 11 Sep 2021 14:29 WIB

Revenge Porn, Implikasi dan Jerat Hukum di Indonesia

Kasus revenge porn yang berimplikasi kejiwaan dijerat pasal Pasal 27 ayat (1) UU ITE

Muhammad Sony Maulana, Ketua Prodi Sistem Informasi Universitas BSI Kampus Pontianak.
Foto: Universitas BSI
Muhammad Sony Maulana, Ketua Prodi Sistem Informasi Universitas BSI Kampus Pontianak.

REPUBLIKA.CO.ID,  Muhammad Sony Maulana / Ketua Prodi Sistem Informasi Universitas BSI Kampus Pontianak

Revenge pornography termasuk subtipe cyberharassment atau cyberstalking, dan merupakan masalah yang serius dihadapi masyarakat di era society. Revenge pornography dapat mengakibatkan konsekuensi kesehatan mental seumur hidup bagi korbannya hingga isolasi sosial. 

Saat ini, semakin banyak negara telah mengakui fenomena tersebut dan telah memberlakukan undang-undang untuk menindak pelaku atau oknum revenge pornography. 

Internet, menjadi alat untuk aktivitas kriminal, karena memungkinkan individu untuk mengakses dan menyebarkan semua hal dengan cara anonim. Beberapa yang termasuk kejahatan internet yaitu cyberharassment, cyberbullying, cyberhacking, dan cyberstalking. 

Foto-foto dan video yang diambil secara diam-diam atau tanpa sepengetahuan pemilik foto dan video, terlebih berkonteks hubungan intim atau adegan mesra, yang seharusnya tidak menjadi tontonan publik. 

Terkadang yang menjadi pelaku revenge pornography adalah mantan pacar, mantan suami, selingkuhan ataupun orang yang tersakiti. Tetapi, ada juga pelaku yang merupakan seorang peretas.

Peretas masuk atau mendapatkan akses ilegal ke galeri foto atau video intim korbannya, dan pelaku yang merupakan seorang peretas tidak memiliki motivasi balas dendam ke korbannya, melainkan, mempunyai motif lain atau mencari keuntungan dengan cara memeras korbannya. Sehingga korbannya mau membayar pelaku dengan nominal yang besar dengan harapan foto atau video pribadinya tidak disebarkan oleh pelaku yang merupakan seorang peretas tersebut. 

Foto dan video intim dapat didistribusikan melalui pesan WhatsApp, Telegram, email, bahkan melalui media sosial. Situs web pertama yang memfasilitasi ‘revenge pornography’, muncul pada tahun 2008. Saat ini, kemungkinan ada 3000 situs web yang digunakan untuk memposting tindakan revenge pornography dan kemungkinan diakses hingga miliaran pengguna internet. 

Sangat sulit untuk menghapus foto atau video intim yang telah tersebar di internet, situs yang digunakan untuk revenge pornography sering memposting nama korban dan informasi identitas lainnya, hingga memberikan link ke akun media sosial dari pembuat foto atau video intim tersebut.

Implikasi kesehatan mental dari Revenge Pornography

Revenge pornography dapat menimbulkan implikasi kesehatan mental yang serius bagi para korbannya. Mereka harus menerima konsekuensi dan psikologis jangka panjang. Foto atau video yang telah tersebar luas dapat terus menghantui pembuat foto atau video intim sepanjang hidupnya bahkan ke generasi penerusnya jika mengetahui kasus tersebut.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Linkous T pada tahun 2014, terdapat 49 persen korban melaporkan bahwa telah mengalami dan menjadi korban cyberharassment dan cyberstalking oleh pengguna online yang melihat foto korban diposting secara online.

Masih di penelitian yang dilakukan oleh Linkous T, mencatat bahwa 80 persen hingga 93 persen korban menderita tekanan emosional setelah foto atau video intimnya tersebar melalui internet. Menurut Cyber Civil Right pada tahun 2014, korban mengalami kemarahan, rasa bersalah, paranoia, depresi, atau bahkan bunuh diri.

Konsekuensi negatif jangka panjang dari revenge pornography terlihat mirip dengan kasus pornografi anak, penghinaan, ketidakberdayaan dan mengalami tekanan seumur hidup. Akibatnya, korban revenge pornography menderita efek kesehatan mental yang sama persis dengan korban pornografi anak, yang juga mengalami depresi, merasa harga diri rendah, dan perasaan sudah tidak berharga.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement