Rabu 08 Sep 2021 08:06 WIB

Perbanas: Aturan BI Soal Pembiayaan ke UMKM Beratkan Bank

Kinerja perekonomian nasional masih belum stabil dan membaik.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) di level 3,5 persen.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Layar memampilkan logo Bank Indonesia (BI) di Jakarta, Kamis (17/6/2021). Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) di level 3,5 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbankan Nasional Swasta (Perbanas) menilai aturan Bank Indonesia (BI) terkait rasio pembiayaan inklusif makroprudensial (RPIM) bagi UMKM akan memberatkan industri perbankan. Hal ini karena melihat kinerja perekonomian nasional masih belum stabil dan membaik.

Bank Indonesia (BI) mewajibkan perbankan untuk memenuhi RPIM UMKM sebesar 20 persen pada Juni 2022. Hal ini dilakukan secara bertahap hingga rasionya mencapai 30 persen pada Juni 2024. 

Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah yang berlaku efektif sejak 31 Agustus 2021. Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani mengatakan saat ini belum banyak pelaku UMKM yang bisa naik kelas ke kancah domestik bahkan global. 

“Kalau ekonomi sudah bagus 2023. Jika besarannya 30 persen ke UMKM akan berbahaya bagi bank terutama bank BUKU 3 dan BUKU 4 karena bank harus ada biaya infrastruktur yang jumlah signifikan. Nantinya besaran 30 persen terserap atau tidak? Kalau kita lihat kenaikan kelas UMKM sangat lambat, takutnya dipaksakan dan tidak terserap, apalagi ada denda juga,” ujarnya dalam webinar yang dikutip Rabu (8/9).

 

Maka itu, pihaknya meminta Bank Indonesia dapat meninjau kembali aturan tersebut. Adapun langkah ini untuk memastikan besaran pembiayaan atau kredit yang dibutuhkan pelaku UMKM.

“Jadi menurut saya perlu dilihat lagi apakah benar UMKM setiap tahun butuh pinjaman sebesar itu? Menurut saya itu agak diragukan. Apakah mampu 30 persennya mampu terserap UMKM? 30 persen itu tinggi loh. Perlu dihitung kembali,” ucapnya.

Sebelumnya Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Bank Indonesia seharusnya bisa mendorong penyaluran pembiayaan bank melalui instrumen moneter yang dimiliki, seperti suku bunga acuan. 

“Kalau kemudian instrumen suku bunga tidak efektif, BI harusnya fokus mencari apa penyebab instrumen suku bunga tidak bisa meningkatkan penyaluran kredit. Bukan kemudian masuk ke wilayah kewenangan otoritas lain,” ujar Direktur Riset CORE Piter Abdullah kepada Republika.co.id, Senin (6/9).

Piter menyebut aturan itu juga melampaui kewenangan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sebab, mengatur individu perbankan itu merupakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

“Saya tidak sependapat dengan kebijakan BI yang ini (PBI 23/2021). Itu menurut saya di luar kewenangannya BI. Menurut saya (BI) kebablasan,” ungkapnya.

Dia melanjutkan, kewenangan Bank Indonesia seharusnya pengaturan secara makro, yakni mencakup kebijakan moneter hingga sistem pembayaran. Sedangkan pengaturan dan pengawasan perbankan sudah beralih ke OJK sejak 31 Desember 2013. 

“Rasanya terlalu jauh BI mengatur, bahkan dengan mengancam memberikan sanksi kepada bank. Menurut saya di luar kewenangan BI, domain BI lebih ke pengaturan makro, tidak pada tataran mikro mengatur bagaimana bank beroperasi,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement