Selasa 07 Sep 2021 21:53 WIB

Fatayat NU Ungkap Penyebab Tingginya Kekerasan pada Anak

Anak punya hak untuk dilindungi.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Muhammad Hafil
Fatayat NU Ungkap Penyebab Tingginya Kekerasan pada Anak. Foto: Kekerasan terhadap anak (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Fatayat NU Ungkap Penyebab Tingginya Kekerasan pada Anak. Foto: Kekerasan terhadap anak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Koordinator Bidang Dakwah PP Fatayat NU Miftahul Janah menegaskan bahwa Dalam Islam, anak bukan hanya sekedar hasil proses kembang biak manusia, namun merupakan titipan Allah SWT yang harus dijaga, dirawat, diasuh, dan dididik dengan sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua untuk mengasuh anak-anak mereka, bukan hanya perlu dipertanggung jawabkan di dunia namun juga di akhirat, sambung Mifta.

“Anak juga memiliki hak yang harus dilindungi. Hal ini menuntut orang dewasa (orang tua, pemerintah, dan masyarakat) harus bertanggung jawab penuh terhadap setiap anak,” tegasnya kepada Republika, Selasa (7/9).

Baca Juga

Menurutnya, penyebab masih tingginya angka kekerasan pada anak disebabkan lingkungan tempat tinggal yang kurang mendukung, baik secara finansial, budaya, maupun sosial, sehingga memancing munculnya tindakan kekerasan pada anak. Mifta menjelaskan, lingkungan sekolah yang terlalu ketat atau kerap menerapkan praktik penekunan yang keras, membuat hubungan antara guru dan murid menjadi melenceng dari moral atau nilai-nilai kebaikan (dehumanisasi).

Selain itu, hubungan orang tua dan anak yang tidak akrab, baik dari jarak maupun kesibukan masing-masing juga dapat memancing munculnya tindakan atau perilaku yang tidak diharapkan.

“Hilangnya ruang publik untuk anak berekspresi seperti tempat olahraga, tempat teater dan lainnya ini juga sering kali membuat anak tidak punya tempat berkegiatan positif sehingga beresiko terjebak di lingkungan yang tidak baik dan menjadi korban atau menjadi pelaku kekerasan,” ujarnya.

“Selain itu, yang tak kalah pentingnya, pengaruh media massa, kemajuan iptek, memberi dampak positif sekaligus negatif. Kadang ini menyebabkan terjadinya penyerapan nilai-nilai buruk, sehingga berpotensi menargetkan anak sebagai korban atau bahkan memancing anak untuk menjadi pelaku kekerasan,” sambungnya.

Solusinya, kata Mifta, tentu dengan memperkuat nilai-nilai moral antara orang tua dan anak, guru dan murid, juga masyararakat dengan anak-anak muda. Penguatan ini bisa dilakukan dengan mempererat komunikasi, meningkatkan kepedulian dan perhatian pada kebutuhan dan aspirasi anak.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Nasyiatul ‘Aisyiyah (PPNA) Dyah Puspitarini mengungkapkan, perlu adanya gerakan cinta keluarga di tengah meningkatnya kekerasan terhadap anak dalam beberapa tahun terakhir.

"Saya berharap ada sebuah program pemerintah, gerakan untuk cinta keluarga. Gerakan memeluk keluarga, yang intinya menyadarkan keluarga. Ini adalah tempat kembali kita semua dan gerakan ini adalah kesadaran kita bersama pemerintah, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan rakyat sipil," kata Dyah pada Selasa (7/9).

Dyah mengatakan, PPNA memang prihatin dengan naiknya angka kekerasan terhadap anak pada 2021. PPNA disebut sudah memprediksi kenaikan angka kekerasan pada anak.

Pada tahun lalu, angka kekerasan anak telah mengalami peningkatan, kondisi ini juga terjadi karena adanya pandemi Covid-19. Tren ini pun masih berlanjut pada 2021, maka kondisinya dianggap masih sama.

"Faktornya kami melihat kasus kekerasan terhadap anak malah sebagian besar terjadi di rumah, yang semestinya keluarga sebagai tempat aman bagi anak, namun nyatanya ketika pandemi kondisinya aktivitas di dalam rumah dan anak malah mendapatkan perlakuan kekerasan yang bisa muncul tidak hanya dari keluarga inti tapi juga keluarga besar, atau mungkin di sekitar lingkungan rumah," papar Dyah.

Dyah berpesan kepada seluruh orang tua agar dapat menjadi tempat berlindung yang aman, mereka harus membuka tangan lebih lebar. Orang tua dapat mendampingi proses perkembangan anak, bukan melampiaskan kekerasan pada anak.

"Tetapi kita lihat faktor keluarga kompleks di masa pandemi, dari faktor ekonomi, sosial dan sebagainya, sehingga orang tua harus melatih emosi, sikap agar tidak melampiaskan kemarahan, kecapean pada anak," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement