Senin 06 Sep 2021 14:03 WIB

Kriminolog: Hukum Berat Orang Tua yang Congkel Mata Anaknya 

Kejahatan itu mengakibatkan trauma jangka panjang bahkan mungkin sepanjang hayat pada

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Reza Indragiri Amriel
Foto: NET
Reza Indragiri Amriel

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kriminolog Forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi, kasus orang tua yang melukai mata anak kandungnya yang berusia enam tahun untuk pesugihan di Tinggimoncong, Gowa, Makassar Sulawesi Selatan. Menurutnya, hukuman yang diberikan kepada orang tuanya tidak cukup dengan pejara lika tahun, tapi harus dikenakan pasal berlapis. 

"Ketika orang tua mencungkil mata anaknya, betapa pun itu juga mengakibatkan trauma jangka panjang bahkan mungkin sepanjang hayat pada diri si anak, tapi hukuman bagi pelakunya hanya penjara maksimal lima tahun. Tanpa pemberatan pula," katanya kepada Republika, Senin (6/9).

Dia mengaku, sedih sekaligus marah luar biasa pada para pelaku pencungkilan mata itu. Namun, kemurkaannya tidak sungguh-sungguh terwakili oleh hukum (UU Perlindungan Anak) yang ada saat ini. 

"Keinginan saya agar para pelaku kekerasan fisik dan psikis yang mengakibatkan luka ekstrim pada anak dihukum seberat-beratnya, ternyata hanya dipuaskan oleh penjara antara 3,5 hingga 5 tahun," kata dia.

Dia mendorong, penerapan pasal eksploitasi terhadap anak. Karena, pesugihan dilakukan lewat pemanfaatan fisik anak untuk tujuan ekonomi, maka definisi eksploitasi secara ekonomi dalam UU Perlindungan Anak sudah terpenuhi. Ancaman pidananya paling lama 10 tahun penjara.

Baca juga : AHY Dikukuhkan Jadi Mahasiswa Baru Unair

Selain itu, dia menjelaskan, UU Penghapusan KDRT juga memuat sanksi pidana yang sama, yaitu penjara maksimal 10 tahun, bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga.

"Pidana eksploitasi memang lebih berat daripada pidana kekerasan terhadap anak (UU Perlindungan Anak). Juga setara dengan pidana kekerasan dalam UU Penghapusan KDRT. Tapi terus terang, itu tetap belum sebanding dengan penderitaan anak korban pesugihan itu," kata dia.

Dia berharap, masyarakat menemukan hukum adat yang memungkinkan pelaku penyiksaan anak diganjar sanksi jauh lebih berat lagi. "Jadi, perlukah diberlakukan diversi penyelesaian masalah di luar sistem pidana konvesional? Kenapa tidak? Sepanjang sanksi adat dinilai lebih setimpal dengan perbuatan pelaku dan lebih mewakili suasana batin masyarakat, maka terapkan saja," kata dia.

Sebelumnya diketahui, Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan (Polda Sulsel) akhirnya menetapkan dua tersangka pada Senin (6/9), dari empat pelaku kasus kekerasan terhadap anak di Lingkungan Lembang Panai, Kelurahan Gantarang, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulsel. Insiden itu terjadi pada Rabu (1/9).

"Dua orang telah ditetapkan tersangka, masing-masing kakek dan paman korban yang kini ditahan di Polres Gowa," kata Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes E Zulpan di Kota Makassar, Senin (6/9).

Terduga pelaku kekerasan terhadap korban inisial AP (enam tahun), adalah HAS (43 tahun/ibu), TAU (47 tahun/ayah), US (44 tahun/paman), dan BA (70 tahun/kakek). HAS dan US telah dibawa ke Rumah Sakit (RS) Jiwa Dadi, Kota Makassar untuk menjalani pemeriksaan kondisi kejiwaannya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement