Sabtu 04 Sep 2021 17:46 WIB

9 Daerah Tertinggi Buta Aksara dan Upaya Pemerintah 

Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk berantas buta aksara

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Nashih Nashrullah
Pemerintah melakukan berbagai upaya untuk berantas buta aksara. Ilustrasi buta aksara
Foto:

Dia mengatakan, jika dilihat dari rentang usia, masyarakat dengan kelompok usia 44-59 tahun menjadi yang tertinggi persentase buta aksaranya ketimbang rentang usia 15-24 tahun dan 24-44 tahun, yang keduanya sudah relatif melek huruf.

Di rentang usia 44-59 tahun itu, ketimpangan buta aksara terjadi antara laki-laki dan perempuan. "Jadi di kelompok senior kita itu senjang banget antara laki-laki yang 2,73 persen, perempuan masih 5,6 persen,” ungkap Jumeri. 

Melihat data itu, Jumeri mengakui memang masih ada warga masyarakat yang masih buta huruf di Indonesia, tetapi secara bertahap jumlah tersebut akan diturunkan. 

Gerakan-gerakan literasi ke depan, kata dia, akan lebih difokuskan kepada 10 daerah dengan persentase buta huruf tertinggi. Itu dilaksanakan tanpa melupakan daerah-daerah lainnya.

"Kita (juga) masih punya tanggung jawab untuk melakukan gerakan literasi pada kelompok-kelompok senior," kata dia.

Dia menuturkan, dalam melakukan pemberantasan buta aksara tersebut, pemerintah membutuhkan bantuan dari berbagai pihak, terutama lembaga dan para pemerhati keaksaraan yang ada di negeri ini. 

Kementerian-lembaga, pemerintah daerah, hinga RT-RW akan mereka mintai bantuan untuk turut berperan aktif memberantas buta aksara. "Ini (melek aksara) bagian dari hak asasi yang harus dimiliki oleh warga negara kita agar merkea bisa punya hak hidup, hak untuk mendapatkan informasi, dan bisa menuntun hidupnya agar bisa mempunyai kehidupan yang lebih baik lagi," jelas dia.   

Sementara itu, Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek, Samto, pada kesempatan tersebut mengungkap pendekatan-pendekatan yang dilakukan untuk mengentaskan buta aksara di rentang usia 44-59 tahun. Salah satunya, memasukkan pelajaran ke dalam kegiatan sehari-hari mereka.

"Jadi misalkan dengan kegiatan memasak, kemudian bertani. Tema-temanya itu sesuai dengan kondisi orang dewasa yang saat ini sedang belajar baca tulis karena mereka hanya belajar baca saja tidak mau," ungkap Samto.

Menurut dia, pemberian materi baca-tulis terhadap kelompok usia tersebut berbeda dengan yang dilakukan terhadap rentang usia di bawahnya. Dia mengambil contoh pendidikan baca-tulis yang dilakukan kepada anak sekolah dasar (SD), yakni dengan menggunakan buku nasional untuk diajarkan kepada mereka.

Samto juga menerangkan, dalam pengajaran baca-tulis tersebut, di kelompok usia manapun, pihaknya menggunakan pendekatan dengan bahasa lokal terlebih dahulu. Setelah bahasa lokal diajarkan, barulah pembelajaran baca-tulis bahasa Indonesia dilaksanakan.

"Kita menggunakan pendekatan dari lokal dulu, kemudian baru ke bahasa Indonesia. Jadi (contohnya) bahasa Bali ya dengan aksara Bali, (lalu) kita serapkan lagi ke bahasa Indonesia," kata dia.

Menurut Samto, semua itu merupakan kekayaan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan keaksaraan secara umum. 

Dia kembali mengambil contoh orang-orang tua di daerah Jawa yang sudah bisa memahami huruf Jawa, tapi belum bisa baca-tulis bahasa latin atau alfabet. Bahasa lokal itu dijadikan sebagai jembatan untuk mempelajari bahasa Indonesia.

 

"Itulah yang kita lakukan dan ini tetap kita hidupkan bahasa-bahasa nusantaranya, aksara-aksara nusantara ini kita hidupkan untuk memperkaya khasanah pendidikan kita," terang Samto.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement