Jumat 03 Sep 2021 20:46 WIB

Permendikbud 6/2021 Dirasa Sangat Merugikan Sekolah Swasta

Sekolah-sekolah ini turut menampung anak-anak yang tidak masuk sekolah negeri.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Permendikbud 6/2021 Dirasa Sangat Merugikan Sekolah Swasta (ilustrasi).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Permendikbud 6/2021 Dirasa Sangat Merugikan Sekolah Swasta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Berbagai penyelenggara pendidikan menolak Permendikbud 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler. Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi mengatakan, penolakan turut mewakili perasaan dan situasi sekolah- sekolah PGRI.

Yang mana, ada di hampir seluruh kota-kota di Indonesia. Terlebih, Unifah mengingatkan, sekolah-sekolah ini turut menampung anak-anak yang tidak masuk sekolah negeri, mendampingi, terutama siswa-siswa dari kelompok kurang mampu.

Unifah mengingatkan, keberadaan sekolah-sekolah ini merupakan kesempatan mereka mendapatkan akses pendidikan. Karenanya, kalau sampai tidak mendapat dukungan dana dari negara maka lost generation bukan tidak mungkin benar-benar terjadi.

"Mereka semakin termarjinalisasi karena negara tidak hadir memberi dukungan agar mereka mendapatkan hak pendidikannya," kata Unifah, Jumat (3/9).

Senada, pemerhati pendidikan, Doni Koesoema, turut mendampingi yayasan-yayasan sekolah Katolik yang sangat dirugikan Permendikbud ini. Kebijakan dirasa sangat diskriminatif karena sekolah negeri di bawah 60 orang masih bisa mendapat BOS.

Asalkan, lanjut Doni, mendapat rekomendasi kepala dinas setempat. Ia menilai, kebijakan sekolah mengatakan sekolah swasta tidak didukung negara. Kedua, jumlah 60 disebut tidak berlaku di daerah 3T, tapi penentuan daerah ini sangat bermasalah.

Sebab, ada daerah yang ditentukan 3T masih memiliki masalah terkait jumlah. Bahkan,kasus yang mereka dampingi di Sleman jumlah muridnya 55-59 itu tidak di daerah 3T, tengah kota, dan dengan kebijakan ini tidak mendapat dana bos.

"Padahal, mereka menerima siswa yang tidak dapat masuk sekolah negeri, menampung anak-anak miskin yang tidak dapat masuk sekolah negeri," ujar Doni.

Selain itu, di kota-kota besar sekalipun banyak yang muridnya di bawah 60 orang. Menurut Doni, sering karena bukan kesalahan mereka yang gagal merekrut siswa, namun pemerintah yang lebih banyak membangun sekolah negeri di daerah-daerah.

"Negara gagal hadir untuk anak-anak Indonesia yang justru pada masa pandemi ini perlu mendapat bimbingan dari negara," kata Doni. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement