Jumat 03 Sep 2021 17:54 WIB

Negara Dinilai Gagal Hadir untuk Anak-anak Indonesia

Aliansi meminta syarat jumlah siswa dalam pemberian dana BOS dihapus.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ilham Tirta
Panitia penerimaan peserta didik baru menunggu calon siswa yang akan mendaftar (ilustrasi).
Foto: Antara/Asep Fathulrahman
Panitia penerimaan peserta didik baru menunggu calon siswa yang akan mendaftar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A mengatakan, syarat sekolah penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler dengan minimal memiliki 60 peserta didik merugikan sekolah swasta. Jangankan di daerah terdepan, tertinggal, dan terpencil (3T), banyak sekolah swasta di tengah kota yang tidak bisa mendapatkan dana BOS reguler dengan syarat tersebut.

"Di kota-kota besar pun siswa yang jumlahnya di bawah 60 itu ada banyak," kata Doni dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan untuk menolak Permendikbud Nomor  6 Tahun 2021 secara daring, Jumat (3/9).

Doni menjelaskan, keadaan tersebut sering kali terjadi bukan karena kesalahan sekolah swasta maupun manajemen. Itu terjadi karena pemerintah lebih banyak membangun sekolah negeri yang ada di daerah-daerah, terutama untuk tingkat pendidikan dasar.

"Seharusnya pemerintah memperhatikan peranan sekolah-sekolah swasta yang sudah sejak lama berkarya di tempat-tempat itu, jauh sebelum Indonesia ini merdeka," ujar pria yang mendampingi beberapa yayasan dari sekolah katolik itu.

Dia mengambil contoh kasus di Sleman, Yogyakarta. Di sana ada sekolah yang tidak bisa mendapatkan dana BOS. Padahal, sekolah itu menerima siswa yang tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena keterbatasan kuota.

Sekolah swasta itu memberikan akses pendidikan kepada anak-anak dari keluarga tak mampu yang tak dapat masuk ke sekolah negeri. "Kalau yang seperti ini tidak diperhatikan oleh negara, saya rasa negara kembali melanggar amanat UU Sisdiknas Pasal 31 ayat 1 bahwa pendidikan itu adalah hak warga negara. Dan ini saya tunjukkan terjadi bukan hanya di Sleman, tetapi ada di Purbolinggo, ada di Tawangmangu, ada di Pekalongan, dan ada di Magelang," kata dia.

Doni juga menyatakan, peraturan tersebut sangat diskriminatif. Sebab, ada perlakuan berbeda untuk sekolah negeri. Dia menerangkan, sekolah negeri yang memiliki peserta didik di bawah 60 orang dalam tiga tahun terakhir masih bisa mendapat dana BOS asalkan mendapat rekomendasi dari kepala dinas pendidikan setempat.

"Ini seperti mengatakan bahwa sekolah-sekolah swasta itu tidak didukung oleh negara," kata dia.

Doni menyatakan, persoalan mengenai dana BOS tersebut merupakan masalah hak konstitusional anak-anak bangsa Indonesia. Dengan hal-hal yang telah diterangkan itu, dia menilai negara gagal hadir untuk anak-anak Indonesia, terlebih di masa-masa sulit saat pandemi Covid-19 saat ini.

"Contoh yang saya sebutkan cukup dapat menjadi argumentasi bahwa negara gagal hadir untuk anak-anak Indonesia yang justru di masa pandemi ini membutuhkan dampingan dan dukungan dari negara," jelas Doni.

Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan menilai aturan tersebut diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Karena itu aliansi menyatakan menolak aturan tersebut dan meminta pemerintah mencabut ketentuan tersebut.

"Bertolak belakang dengan amanat pembukaan UUD 1945, bersifat diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial," ujar Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, saat membacakan pernyataan sikap aliansi secara daring, Jumat (3/9).

Aturan yang dimaksud ialah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Ketentuan tersebut disebarkan melalui Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler.

Aliansi menyoroti Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler di Permendikbud yang diundangkan pada 16 Februari 2021 itu. Di sana tertera ketentuan sekolah yang dapat menerima dana BOS reguler yang berbunyi sekolah harus memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir.

"Kebijakan tersebut mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia dan melanggar amanat konstitusi negara. Oleh karena itu, kami yang selama ini telah banyak berkontribusi membantu negara dalam pendidikan menyatakan sejumlah catatan kritis terhadap kebijakan tersebut," kata dia.

Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan tersebut terdiri dari Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP Ma'arif PBNU, PB PGRI, Taman Siswa, Majelis Pendidikan Kristen, dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik. Perwakilan dari organisasi tersebut turut hadir dalam pembacaan pernyataan sikap tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement