Kamis 02 Sep 2021 17:05 WIB

Petani Sayuran Masih Gigit Jari Saat Pasar Mulai Menggeliat

Harga jual berbagai komoditas hortikultura cenderung terjun bebas.

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Sejmlah Petani di Dusun Blanten Kidul, Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan memanen sawi di ladangnya, Kamis (2/9). Nasib petani berbagai komoditas hortikultura di desa tersebut masih belum terdampak meski aktivitas perekonomian yang dilonggarkan mulai menggeliat.
Foto: Republika/bowo pribadi
Sejmlah Petani di Dusun Blanten Kidul, Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan memanen sawi di ladangnya, Kamis (2/9). Nasib petani berbagai komoditas hortikultura di desa tersebut masih belum terdampak meski aktivitas perekonomian yang dilonggarkan mulai menggeliat.

REPUBLIKA.CO.ID,UNGARAN — Meningkatnya aktivitas sejumlah pusat perekonomian di wilayah PPKM level 2, Semarang Raya belum cukup berpengaruh bagi para petani sentra produksi sayuran, di wilayah Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Di saat aktivitas pasar tradisional maupun pusat perekonomian warga lainnya mulai menggeliat oleh sejumlah kebijakan pelonggaran, para petani masih harus gigit jari, akibat harga jual berbagai komoditas hortikultura yang cenderung ‘terjun bebas’.

“Kecuali tomat, harga komoditas hortikultura lainnya –saat ini-- masih tidak menguntungkan bagi para petani,” ungkap Cahyono (36), salah satu petani di Dusun Geblog, Desa Sidomukti, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Kamis (2/9).

Ia menyebutkan, harga hasil komoditas tanaman kebun yang paling bagus –saat ini-- adalah buah tomat, yang di tingkat petani masih bertahan pada kisaran Rp 14.000 hingga Rp 16.000 per kilogram.

Di luar buah tomat, jelasnya, sulit bagi para petani untuk bisa mengharapkan harga jual yang bagus dari hasil kebun mereka. Karena hampir sebagian besar tanaman sayuran yang dibudidayakan petani justru semakin anjlok.

Yang paling tragis adalah harga cabai, yang biasanya bisa menyentuh harga Rp 25.000 hingga 40.000 per kilogram, sekarang di tingkat petani hanya berkisar Rp 4.000 hingga 6.000  per kilogram.

“Harga Rp 6.000 per kilogram itu untuk jenis cabai rawit merah, yang pada saat melonjak --acap kali-- bisa mendorong terjadinya inflasi daerah,” tegasnya.

Hal ini diamini oleh Dakir (58), petani lain di Dusun Blanten Kidul, Desa Sidomukti. Menurutnya, harga cabai untuk saat ini sedang terpuruk di titik terendah, hingga harga jual di tingkat petani tidak sebanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan para petani.

Selain cabai, komoditas lain yang harganya anjlok antara lain sayuran jenis sawi yang saat ini hanya berkisar Rp 2.500 hingga 3.000 per kilogram. Untuk harga sawi hari ini masih laku, Rp 3.000, tetapi besok belum tentu bisa laku dengan harga yang sama.

Bahkan bisa jadi hanya dibeli dengan harga Rp 2.500 per kilogram. Demikian halnya dengan harga komoditas onclang, yang harga di tingkat petani saat ini berada di bawah nominal Rp 3.000 per kilogram, buncis serta selada. “Padahal produksinya juga tidak terlalu melimpah,” tambahnya.

Cahyono menambahkan, para petani sebenarnya berarap meingkatnya kembali aktivitas pasar dan pusat perekonomian lainnya --setelah masa pembatasan PPKM—bisa memberi dampak bagi para petani di sentra produksi sayuran.

Namun yang terjadi tidak demikian, ramainya kembali pasar, pusat perbelanjaan serta sentra- sentra kuliner belum memberikan angin segar kepada para petani di kawasan sentra produksi sayuran, seperti di Kecamatan Bandungan.

“Atas kondisi tersebut, kami (para petani) hanya bisa berharap, semoga situasi seperti ini tidak berlangsung lama. Sehingga pendapatan para petani berangsur- angsur juga bisa lebih baik lagi,” tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement