Kamis 02 Sep 2021 05:17 WIB

Positif Covid-19 Saat Hamil? Jangan Deh, Sangat Berat

Hal pertama yang terlintas di benak adalah apakah saya akan meninggal?

Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada ibu hamil di Gedung Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (26/8/2021).
Foto: ANTARA/Umarul Faruq
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada ibu hamil di Gedung Hemodialisis Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, Jawa Timur, Kamis (26/8/2021).

Oleh : Friska Yolandha, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Peristiwa yang terjadi pada Mei lalu menjadi pengalaman yang tak akan saya lupakan. Saya terinfeksi Covid-19 dalam keadaan hamil.

Beberapa hari setelah Lebaran, saya terbangun dengan kepala pusing dan panas tinggi. Panasnya baru turun pada sore hari setelah saya istirahat penuh. Tetapi, demam kembali menyerang keesokan paginya dan sembuh di sore hari.

Saya pikir kelelahan karena memforsir badan selama lebaran. Tetapi demamnya tak kunjung sembuh, dan di hari keempat saya menyadari tak dapat mencium bau. Rasa hati mulai tidak enak meskipun anosmia bisa terjadi pada orang yang sedang flu.

Pada Kamis (20/5), saya melakukan tes antigen dengan hasil positif. Saya disarankan untuk lanjut PCR yang nyatanya juga menunjukkan hasil positif Covid-19 dengan CT 22.

Hal pertama yang terpikir adalah apakah saya akan mati? Bagaimana dengan keluarga saya? Bagaimana kondisi janin saya?

Saya segera berkonsultasi dengan bidan yang biasa memeriksa kehamilan. Beliau menyarankan saya segera ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut karena ibu hamil termasuk pasien risiko tinggi.

Dengan beberapa persiapan, saya diantar suami ke salah satu rumah sakit rujukan Covid-19. Saya ditempatkan di IGD khusus Covid-19 dan diperiksa. Waktu itu suasananya masih normal. Dari lima bed yang ada di ruang khusus pasien Covid-19, dua di antaranya kosong sebelum saya isi.

Saat dilakukan CTG, bidan setempat mengatakan kondisi bayi saya sedikit menurun. Sementara, status saya pasien bergejala sedang dengan diagnosa pengentalan darah, hb rendah, dan bronkopneumonia. Dokter merekomendasikan untuk segera operasi caesar mumpung kondisi ibu dan bayi masih optimal. Selain itu, usia janin sudah masuk 37 minggu yang berarti sudah dapat dilahirkan.

Awalnya saya agak keberatan karena ingin mengoptimalkan waktu agar bisa melahirkan secara normal. Akan tetapi, mengingat banyak kasus pasien Covid-19 yang tiba-tiba mengalami perburukan di tengah perawatan membuat saya berpikir ulang. Bagaimana kalau di tengah penantian kontraksi, tiba-tiba saya mengalami perburukan? Meskipun, sejauh ini saya tidak merasa sesak dan saturasi selalu di atas 97.

Setelah berembuk dengan suami, akhirnya keputusan operasi dibuat dan dijadwalkan pagi keesokan harinya. Saya pun segera dipindahkan ke kamar isolasi dan terpisah dari dunia luar.

Kamar isolasi di rumah sakit tersebut berada terpisah dari gedung utama. Sekamar berisi dua orang. Saat saya masuk, sudah ada yang mengisi ruang yang satunya. Saya cukup lega karena ada temannya, tapi khawatir juga kalau-kalau teman sekamar kondisinya tak baik.

Pagi harinya, dimulailah rutinitas saya sebagai pesakitan Covid-19. Suster mengecek tensi dan saturasi serta menyerahkan sejumlah obat sesuai gejala pasien. Saya belum punya daftar obat, hanya dapat infusan.

Untuk menuju ruang operasi, saya dipindahkan ke brankar khusus yang ada tutupnya. Seperti kotak sabun transparan. Seperti peti mati. Di dalamnya sangat pengap karena tak ada udara yang masuk.

"Sabar ya, bu. Nanti sampai ruang operasi dibuka," ucap salah seorang suster. Tindakan itu dilakukan agar virus dalam tubuh saya tidak menular dan menyebar selama perjalanan dari IGD menuju ruang operasi. Menuju ruang operasi harus melalui jalan umum yang penuh pengunjung rumah sakit.

Malu rasanya saat dilihat orang-orang saat brankar tersebut didorong di tengah keramaian. Untung pakai masker.

Singkat cerita, operasi berjalan dengan baik, anak saya lahir dengan sempurna dan segera diobservasi. Dokter mengangkat bayi dan menunjukkannya kepada saya, lalu segera memindahkannya ke tempat lain. Boro-boro bisa inisiasi menyusui dini.

Seusai operasi, saya kembali dipindahkan ke brankar yang ada tutupnya. Dalam kondisi teler oleh obat bius, saya merasa benar-benar seperti berada dalam peti mati dan melihat orang-orang seperti memandangi kasihan.

Saat keluar dari ruang operasi, saya sempat berpapasan dengan bayi saya. Rasanya tidak bisa disebutkan. Terpisah hanya oleh kotak plastik transparan, tidak bisa saling menyentuh apalagi memeluknya. Mendengar tangisannya saja tidak bisa. Hanya terngiang tangisan pertamanya tadi di ruang operasi.

Saya dikembalikan ke kamar isolasi. Berbeda dengan persalinan anak pertama, kini saya harus menjalani pemulihan pascapersalinan sendirian. Makan sendiri, belajar duduk sendiri, ke kamar mandi sendiri, dan menahan nyeri jahitan tanpa ada yang menemani. Kawan sekamar tak mungkin saya repotkan karena kami sama-sama sakit.

Tiga hari pertama menjalani isolasi adalah waktu paling berat. Terpisah dari keluarga, terutama bayi yang selama 8 bulan selalu saya bawa kemana-mana, adalah hal yang membuat saya setiap malam tak pernah tidur nyenyak. Belum lagi pemulihan pascaoperasi yang harus mau tak mau harus saya jalani tanpa bantuan.

Namun, sakitnya luka jahitan tak lebih sakit dibandingkan mendengar suster mengatakan bayi saya menangis meminta susu di ruang bayi. Suster meminta saya mulai memerah ASI untuk si bayi, tentunya dengan protokol kesehatan. Tetapi, derasnya tekad saya tak sederas ASI yang keluar. Satu jam memerah hanya dapat lima mililiter.

Beberapa kali tensi saya terukur cukup tinggi, bahkan pernah mencapai 180. Kepala berdenyut hebat, telinga berdenging, sampai-sampai saya merasa ini adalah akhir perjalanan saya. Dokter mengatakan saya terlalu banyak pikiran. Kondisi ini justru akan memperlama pemulihan.

Berat rasanya. Tetapi jika saya sedih berlarut-larut, akan semakin lama saya pulang. Akhirnya, saya berdamai dengan semua rutinitas, suntikan-suntikan di pagi hari, seabrek obat, dan tangan yang bengkak karena jarum infus. Baru setelah itu, kondisi saya perlahan pulih dan ASI mulai banjir. Sebelumnya, dokter sudah mengizinkan saya memompa ASI karena obat-obatan yang saya konsumsi bukan jenis obat keras. Saya pun mulai rajin mengirim ASI untuk si bayi yang sudah lebih dulu pulang.

Saya merasa bersyukur karena bergejala ringan dan tak muncul sesak. Saya bersyukur terinfeksi saat hamil di trimester akhir. Saya bersyukur cepat ditangani. Saya bersyukur tak harus berebut tempat tidur, apalagi tabung oksigen. Saya bersyukur bisa pulang kembali dan bertemu anak-anak.

Ibu hamil seharusnya menjadi perhatian pemerintah karena termasuk risiko tinggi. Sejak kasus varian delta menanjak, banyak ibu hamil yang terinfeksi dan harus melahirkan sebelum waktunya. Tak sedikit ibu hamil yang wafat bersama bayinya akibat cepatnya perburukan varian ini. Ibu hamil harus juga diprioritaskan mendapatkan vaksinasi. Ibu hamil jangan ragu divaksinasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement