Selasa 31 Aug 2021 01:30 WIB

Kemendagri tak akan Hapus Aturan Honorarium

Permendagri tersebut bukan aturan pemberian honorarium untuk pejabat daerah.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andi Nur Aminah
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Mochamad Ardian Noervianto
Foto: Dok Majalah Top Business
Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI, Mochamad Ardian Noervianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Mochamad Ardian Noervianto, menegaskan Kemendagri tidak akan menghapus Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2021. Menurutnya Permendagri tersebut bukanlah aturan pemberian honorarium untuk pejabat daerah.

"Aturan itu untuk siapa pun yang mendapat honor daerah. Karena begini, dalam pelaksanaan kegiatan, bisa saja pemerintah daerah melibatkan pihak-pihak lain, relawan-relawan. Relawan kan enggak dapet gaji dari pemda, enggak dapat tunjangan, tapi dia sudah bekerja buat pemda, tukang gali kubur misalnya, masa iya mereka enggak kita kasih apresiasi, insentif," kata Ardian kepada Republika.co.id, Senin (30/8).

Baca Juga

Ardian menilai jika aturan tersebut dihapus, maka akan ikut berdampak pada honorarium guru-guru, tenaga medis di daerah. "Kan banyak yang non ASN tuh guru honorer. Kalau itu dihapus pasti berimplikasi," ujarnya.

Karena itu, Ardian mengatakan, yang perlu didorong saat ini adalah bagaimana memastikan bahwa honorarium itu diberikan kepada mereka yang memang secara jelas punya kontribusi nyata dalam satu kegiatan. 

Berkaca dari kasus Bupati Jember, Kemendagri mendorong pemerintah daerah memakai sistem informasi pemerintah daerah (SIPD). "SIPD lah yang mengamankan pemerintah daerah. Tapi apabila belum pakai SIPD kami meminta provinsi betul-betul mengawasi jalannya perilaku belanja," ucapnya.

Kemendagri sangat berharap pandemi Covid-19 jangan dijadikan momentum untuk menambah insentif pejabat daerah. Ardian mengatakan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian berulang kali menyampaikan agar APBD difokuskan kepada penanganan covid dan dampak sosial ekonominya. 

"Ini sudah saya sampaikan kepada BPKD Jember tolong cermati agar pemda itu peka. Honor memang boleh, ada aturannya namun pemberiannya besarannya harus benar-benar selektif, punya kontribusi nyata, tidak duplikasi dengan penganggaran lainnya, efisien, tidak boros," tuturnya.

Sementara itu, Anggota Komisi II DPR, Zulfikar Arse Sadikin, mengatakan honorarium itu termasuk lain-lain penghasilan yang sah dari seorang ASN dan pejabat negara. Menurutnya dalam permendagri tersebut sebenarnya ditekankan tentang kepatutan, kewajaran, dan rasionalitas dalam pengalokasian honorarium ini. "Kalau ingin diubah, yang mesti ditinjau ulang itu adalah struktur gaji dan penghasilan ASN dan pejabat negara," tuturnya. "Kalau soal permendagri itu tinggal pengawasan dalam implementasinya," imbuhnya.

Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, menilai persoalan honorarium tersebut mesti dibahas secara seksama, sekalian dibahas penghasilan kepala daerah yang sangat minim. Mardani memandang lebih baik kepala daerah beri penghasilan yang cukup dan tidak ada ampun jika korupsi. 

"Iya aturan yang dibuat mesti adil dan transparan. Lebih baik sistem single sallary diterapkan," ungkapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement