Senin 30 Aug 2021 19:45 WIB

Dari 26 Juta, Baru 2,6 Juta Remaja Divaksin Dosis Pertama

Vaksinasi akan membentuk kekebalan pada anak, kemudian membentuk kekebalan komunal

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Hiru Muhammad
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada seorang remaja saat vaksinasi massal di Gedung Graha Widya Wisuda IPB University, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/8/2021). Vaksinasi massal yang diikuti masyarakat umum, pelajar, mahasiswa dan pegawai IPB dengan target 10 ribu dosis vaksin tersebut sebagai upaya mempercepat program vaksinasi COVID-19 di Indonesia.
Foto: ANTARA/Arif Firmansyah
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada seorang remaja saat vaksinasi massal di Gedung Graha Widya Wisuda IPB University, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/8/2021). Vaksinasi massal yang diikuti masyarakat umum, pelajar, mahasiswa dan pegawai IPB dengan target 10 ribu dosis vaksin tersebut sebagai upaya mempercepat program vaksinasi COVID-19 di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat sebanyak 2.623.907 anak Indonesia yang berusia 12 hingga 17 tahun yang mendapatkan vaksin Covid-19 dosis pertama dari total sasaran 26.705.490 atau 9,82 persen. Padahal, vaksinasi Covid-19 harus dilakukan untuk melindungi anak, termasuk ketika akan melakukan pertemuan tatap muka (PTM) di sekolah. 

Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menjelaskan, vaksinasi akan membentuk kekebalan pada anak, kemudian membentuk kekebalan komunal (herd immunity). "Seperti kita tahu ada imunisasi dasar lengkap yang diberlakukan selama ini, maka untuk masalah Covid-19 juga berlaku bagaimana melakukan vaksinasi pada anak dengan baik. Tercatat lebih dari 2,3 juta remaja atau 2.623.907 anak telah divaksin dosis pertama hingga 30 Agustus 2021 pukul 08.00 WIB," ujarnya saat berbicara di konferensi virtual Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Senin (30/8).

Kendati demikian, pihaknya mencatat angka cakupan imunisasi Covid-19 pada anak tidak merata di beberapa provinsi. Ia menyontohkan cakupan vaksinasi anak di Bali sudah 94 persen, DKI Jakarta 80 persen, tetapi di Lampung baru 1 persen yang mencapai sasaran. Kalau ingin melakukan perlindungan pada anak, dia melanjutkan, pemerintah harus melakukan kegiatan vaksinasi ini dengan baik dan secara tuntas sehingga anak semua tervaksinasi dengan persentase dengan cukup baik. 

"Karena itu vaksinasi anak 12 hingga 17 tahun jadi mandatory yang harus dilakukan, kalau kita ingin memberlakukan PTM belajar mengajar anak di sekolah," katanya.

Dante mengaku pihaknya telah melakukan pertemuan rutin dengan kepala dinas hingga pemangku kepentingan terkait untuk membahas vaksinasi. Bahkan, jika diperlukan nantinya melakukan pertemuan dengan pihak-pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membahas vaksinasi pada anak jadi lebih mudah. Pihaknya mengakui masih agak sulit melakukan koordinasi. Kendati demikian, pihaknya berkomitmen mengupayakan vaksinasi regional dan sentra vaksinasi.

"Misalnya sentra vaksinasi yang diselenggarakan dinas kesehatan atau pemerintah atau fasilitas pelayanan kesehatan itu bisa berupa anak-anak dibawa ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan akan dilayani untuk mendapatkan vaksinasi. Jadi, paling gampang adalah dibawa ke puskesmas dan akan langsung divaksinasi," ujarnya.

Ia menegaskan vaksinasi penting untuk dilakukan karena di beberapa tempat sudah ada klaster yang sumbernya adalah sekolah. Ia menyebutkan studi kasus Sumatra Barat (Sumbar) yang memberlakukan skrining di sekolah mengenai peningkatan risiko infeksi pada anak melalui klaster sekolah.

Hasilnya, skrining di SMA 1 Sumbar selama 21 hingga 31 Maret terungkap sebanyak 61 orang positif, kemudian di MAN Insan Cendekia-Padang Pariaman selama 17 April ternyata 63 orang positif, skrining di SMP 2 Sawah Lunto selama 17 April 2021 sebanyak 21 orang positif, skrining di Darel El Iman selama 1 April hingga 30 Mei mengungkap 37 orang positif, dan SMA 1 Padang Panjang selama 26 Mei hingga 10 Juni sebanyak 35 orang positif. 

"Ini menunjukkan proses pembelajaran bisa mempunyai risiko jumlah kasus positif akan meningkat dan jadi satu klaster baru. Kalau klaster ini ditangani dengan baik, maka tidak terlalu berdampak," ujarnya.

Terkait penerapan protokol kesehatan pada anak, Dante menegaskan itu tidak sesederhana yang dipikirkan. Ia menyontohkan, ada anak didik di sekolah yang memasang masker di dagu, ada yang melepaskannya, ada yang ditaruh di tas, bahkan ada anak yang bermain masker dengan teman-temannya. Artinya, ia mengakui penerapan protokol kesehatan pada anak susah-susah gampang untuk diterapkan, apalagi pada anak yang tingkat pendidikannya lebih rendah misalnya sekolah dasar (SD). Menurutnya protokol kesehatan lebih gampang jika diterapkan di sekolah tingkat lebih lanjut. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement