Sabtu 28 Aug 2021 16:03 WIB

Putusan MK Buka Ruang E-Voting, tapi Ada Syaratnya

Peneliti Kode Inisiatif mengatakan putusan MK buka ruang untuk e-voting dalam pemilu.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Muhammad Ihsan Maulana, mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 147/PUU-VII/2009 membuka ruang penggunaan teknologi dalam pemungutan dan penghitungan suara di Tanah Air. Namun, kata dia, terdapat persyaratan konstitusional yang harus dipatuhi.

"Pungut hitung itu dapat dilakukan melalui teknologi selama persyaratannya diatur. Apa sih syarat konstitusional melalui putusan MK jika kita ingin menerapkan teknologi pungut hitung dalam kepemiluan kita," ujar Ihsan dalam diskusi daring 'Bukan E-Voting, Tetapi E-Recap', Sabtu (28/8).

Baca Juga

Dia menuturkan, putusan MK tersebut dikeluarkan atas pengujian Pasal 88 Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan proses pemilihan kepala daerah (pilkada). Putusan tersebut kemudian dituangkan ke di UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada sebanyak tiga pasal.

Pasal yang dimaksud, Pasal 85 ayat 1 huruf a yang menyebutkan, pemberian suara pilkada dapat dilakukan dengan cara memberi tanda satu kali pada surat suara atau memberi suara melalui peralatan pemilihan suara secara elektronik. Pada Pasal 85 ayat 2 huruf a dijelaskan, pemberian suara secara elektronik dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan pemerintah daerah dari segi infrastruktur dan kesiapan masyarakat berdasarkan prinsip efisiensi dan mudah.

Terakhir, Pasal 85 ayat 2 huruf b menyebutkan, dalam hal hanya terdapat satu pasangan calon yang mendaftar dan berdasarkan hasil penelitian telah dinyatakan memenuhi syarat, pemberian suara dilakukan dengan cara mencoblos. Dengan demikian, cara pemilihan untuk menggunakan e-voting dilakukan dengan memiliki minimal dua calon kepala daerah.

Ihsan juga menyebutkan, setidaknya ada empat aspek yang harus menjadi pertimbangan jika akan menerapkan teknologi pada proses pungut hitung pemilu. Empat aspek ini juga menjadi prasyarat sejauh mana kesiapan Indonesia dapat menggunakan pemungutan elektronik (e-voting) maupun penghitungan elektronik (e-counting).

Pertama, penerapan teknologi dalam kepemiluan tidak boleh melanggar asas pemilu, yakni jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia. Sedangkan, ada preseden di mana penerapan e-voting justru membawa dampak, seperti  penghilangan kerahasiaan pemilih.

Dampak tersebut akan makin parah dan menjadi ancaman tersendiri ketika peraturan perundang-undangan pun tidak cukup mengatur penggunaan teknologi dalam kepemiluan. Dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai elektronik di pungut hitung, itu pun berkaitan dengan rekapitulasi hasil penghitungan suara di luar negeri.

Kedua, teknologi informasi harus sudah siap untuk digunakan dan tidak membuat pelaksanaan pemilu menjadi lebih rumit. Ketiga, sumber daya manusia yang dimiliki penyelenggara pemilu pun harus sudah siap, dibarengi dengan masyarakat yang harus sudah melek dan paham teknologi.

"Kalau ditarik ke belakang terkait dengan uji coba pelaksanaan teknologi dalam konteks pungut hitung, di 2019 kita tahu ada Situng, dan di 2020 ada Sirekap, sebetulnya sumber daya manusia yang coba didorong dan diarahkan adalah pad konteks rekapitulasi, bukan e-voting," jelas Ihsan.

Menurutnya, proses peningkatan kapasitas dan sumber daya manusia yang sudah dilakukan serta putusan MK di atas adalah untuk mendorong penggunaan rekapitulasi elektronik atau e-recap, bukan e-voting. Namun anehnya, lanjut Ihsan, menjelang Pemilu dan Pilkada 2024, wacana yang didorong ke publik adalah penerapan e-voting.

Padahal, penyelenggara pemilu baru mempersiapkan e-recap. Pada Pilkada 2020, e-recap,/i> baru sebatas uji coba sebagai keterbukaan data dan informasi, bukan menjadi dasar penetapan hasil pemilihan.

Keempat, pembiayaan pemilu. Ihsan mengatakan, pembiayaan pemilu akan makin membengkak karena penerapan e-voting tidak sesuai dengan prinsip keserentakan yang ada di Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Putusan MK, dan UU Pemilu.

"Ada dampak implikasi di mana salah satunya adalah pengadaan alat untuk e-voting yang nilainya juga akan jauh lebih fantastis dibandingkan kita menggunakan e-recap," tutur Ihsan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement