Rabu 25 Aug 2021 09:19 WIB

Childfree, Tamparan Keras Bagi Dunia Parenting

Pilihan childfree semakin populer di negara-negara maju

Pasangan remaja (ilustrasi)
Foto: pexels
Pasangan remaja (ilustrasi)

Oleh : Riana Oktavia, ibu rumah tangga

REPUBLIKA.CO.ID, Jika sebelumnya parenting  (pengasuhan) masih berbicara seputar kasus pornografi, kecanduan gadget, bullying, hingga penyimpangan masalah orientasi seksual, maka sekarang fenomena Childfree ini perlu diperhatikan dengan seksama. Bagaimana tidak, prinsip childfree sendiri berarti keengganan untuk memiliki anak, bukankah ini adalah bukti kegagalan dalam parenting? Childfree banyak menimbulkan pro dan kontra karena bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Apakah akar penyebab timbulnya konsep ini? Mungkinkah pola pengasuhan memiliki andil terbesar?

Jagat maya negeri ini kembali dihebohkan dengan istilah Childfree. Setelah beberapa waktu lalu seorang selebgram mendeklarasikan dirinya sebagai penganut prinsip childfree di akun media sosialnya. Childfree adalah keputusan yang diambil seseorang untuk tidak memiliki anak setelah mereka menikah. Mereka tidak berusaha untuk hamil secara alami ataupun berencana mengadopsi anak. Banyak yang masih terkejut dengan munculnya paham ini. Padahal istilah childfree sudah lama mencuat sejak akhir tahun 2000-an. Bahkan di negara-negara maju pilihan hidup ini semakin populer.

Alasan yang paling umum dikemukakan mereka yang memutuskan untuk menjadi childfree adalah bahwa cara ini efektif untuk menekan overpopulasi. Benarkah begitu? Kalau memang seperti itu, mengapa saat ini negara-negara di Eropa justru sedang gencar menaikkan angka kelahiran di negaranya. Seperti yang dilansir oleh BBC pada Oktober 2019 silam, negara-negara seperti Finlandia, Estonia dan Perancis justru memberikan tunjangan yang besar agar warganya mau memiliki anak. 

Bahkan seorang peneliti dari International Institute for Environment and Development di London, David Satterthwaite, menyatakan bahwa “Bukan jumlah orang di planet ini yang jadi masalah tapi jumlah konsumen dan skala serta sifat konsumsi mereka”. Hal ini dibuktikan dengan penelitiannya yang menyebutkan bahwa kota dengan penduduk berpenghasilan tinggi justru memberikan dampak besar terhadap masalah lingkungan, berbeda dengan penduduk di perkotaan berpenghasilan rendah, konsumsinya sangat rendah, bahkan hampir tidak memberikan efek apapun pada emisi gas rumah kaca (BBC 2016). 

Berikutnya faktor ekonomi dan sosial lah yang menjadi alasan seseorang untuk memilih childfree. Beberapa orang memiliki kekhawatiran tidak akan bisa memenuhi biaya hidup anak kelak. Sedangkan yang lainnya merasa  bahwa anak hanya akan menjadi beban yang menghambat kesuksesan karirnya. Ada pula yang mengaku tidak menyukai anak-anak. Bahkan ada yang memiliki pengalaman traumatis di masa kecil hingga ia khawatir tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik. 

Jika melihat berbagai alasan yang dikemukakan, siapakah yang paling berperan dalam membentuk konsep childfree yang mereka pilih? Bukankah alasan tersebut menjadi bukti bahwa mereka tidak mendapatkan gambaran ideal dari sebuah keluarga? Tentunya hal ini dimulai dari pola asuh dalam keluarga itu sendiri dan lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal. Karena disanalah pertamakalinya nilai-nilai agama dan budaya tersebut diperkenalkan. 

Dari berbagai alasan tersebut  juga dapat disimpulkan  bahwa mereka yang memilih untuk hidup tanpa anak merasa tidak siap menjadi orang tua. Sehingga mereka tidak siap dengan resiko yang akan muncul di kemudian hari. Alih-alih berusaha untuk meminimalisir resiko mereka lebih memilih untuk tidak memiliki anak sama sekali. Ketidaksiapan menjadi orang tua ini menunjukkan ada kesalahan pada pola asuh yang mereka terima. Karena salah satu tujuan pengasuhan adalah mempersiapkan anak untuk dapat menjadi orang tua yang bertanggung jawab kelak.

Mereka yang memutuskan menjadi childfree juga merasa bahwa hidup mereka akan lebih bahagia saat tidak memiliki anak. Padahal sebagai individu yang beragama hendaknya kita meyakini bahwa kebahagiaan yang sejati adalah saat kita dapat menjalankan hidup selaras dengan keinginan sang Pencipta. Termasuk dengan fitrah (sifat alamiah) seorang manusia untuk menikah dan melanjutkan keturunan. Maka childfree adalah suatu bukti tidak berkembangnya fitrah seseorang dengan baik. 

Ustadz Harry Santosa sebagai penggagas Fitrah Based Education (Pendidikan Berbasis Fitrah) mengungkapkan bahwa ada delapan aspek fitrah yang perlu dirawat pada seorang anak. Yaitu fitrah keimanan, fitrah belajar dan bernalar, fitrah bakat, fitrah seksualitas, fitrah individualitas dan sosialitas,  fitrah Bahasa dan estetika, fitrah perkembangan dan fitrah jasmani.  Maka pada fenomena childfree ini, yang menjadi titik berat adalah fitrah keimanan  dan fitrah seksualitas seseorang. 

Fitrah keimanan yang tidak terawat dengan baik menyebabkan sang anak lupa akan perannya sebagai hamba dan dengan mudahnya mengabaikan aturan penciptanya. Misal pada kasus childfree ini, jika ia seorang muslim tentunya ia akan paham bahwa Rasulullah menyukai jumlah umatnya yang banyak, sehingga ini adalah suatu anjuran untuk memiliki anak. Selain itu dalam islam disebutkan bahwa ada pahala yang besar bagi wanita yang hamil, menyusui dan mendidik anak-anaknya dengan baik. Maka jika seorang muslimah menyadari hal ini , tentunya ia tidak akan memilih menjadi childfree karena memiliki anak merupakan salah satu ladang pahala baginya.

Kemudian akibat fitrah seksualitas yang tidak tumbuh dengan baik, maka tidak akan muncul sifat keayahan dan keibuan dari anak-anak kita. Sebelumnya disebutkan bahwa salah satu alasan seseorang menjadi childfree adalah karena ia tidak menyukai anak-anak. Padahal rasa empati, kelembutan dan kasih sayang adalah fitrah seorang perempuan yang membentuknya menjadi sosok keibuan. Seorang laki-laki dengan fitrah seksualitas yang baik juga akan sadar perannya sebagai ayah, misalnya dalam hal kewajiban mencari nafkah bagi keluarga. Sehingga ia akan berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang menjadi tanggung jawabnya. 

Oleh karena itu fenomena childfree ini hendaknya menjadi perhatian bagi semua pihak terutama para orang tua. Karena penganut prinsip ini kian bertambah jumlahnya. Tentunya kita tidak ingin kelak keturunan kita memilih menjadi childfree akibat kelalaian kita menumbuhkan fitrahnya. Maka setiap orang tua hendaknya memperhatikan dan memperbaiki pola asuh yang mereka terapkan. Agar anak memiliki gambaran sebuah keluarga yang ideal hingga ia nanti memiliki rasa percaya diri dalam membangun keluarganya.

 

REFERENSI 

 

  1. https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-50205201

  2. http://www.bbc.com/earth/story/20160311-how-many-people-can-our-planet-really-support 

  3. https://voi.id/bernas/77722/pilih-childfree-khawatir-overpopulasi-bumi-ini-bisa-menampung-berapa-banyak-orang 

  4. Buku “Fitrah Based Education” oleh Harry Santosa

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement