Rabu 25 Aug 2021 09:13 WIB

Abainya Hakim dan Jaksa terhadap UU Tipikor di Kasus Juliari

Sejak awal pelaku korupsi sudah menghitung antara biaya, risiko, dan keuntungan yang

Rep: Haura Hafizhah/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Vonis hukuman 12 tahun penjara terhadap mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara, terus mengundang reaksi. Salah satunya dari Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra yang mengatakan, jaksa maupun hakim tidak berusaha menggali dan terkesan mengabaikan rumusan kekhususan dalam Undang-Undang (UU) Tipikor.

Karena itu, ke depannya mereka (hakim dan jaksa) harus fokus terhadap motif para koruptor. "Jaksa dan hakim telah mengabaikan rumusan kekhususan yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor. Selain itu, mantan Mensos ini melakukan korupsi uang dengan motif untuk memperkaya dirinya sendiri. Sehingga penghukumannya juga haruslah mampu mengembalikan uang negara sebanyak banyaknya bukan hanya persoalan penjatuhan pidana penjara saja," katanya kepada Republika, Rabu (25/8).

Dia menyebut, pasal 2 ayat 2 UU Tipikor telah diabaikan oleh hakim. Sehingga, dia ingin, hakim wajib memastikan kalau hukuman mantan Mensos ini harus dapat memberikan deterrent effect baik di kluster pidananya dan juga di kluster perekonomian pelaku. 

"Dengan cara merampas aset termasuk memiskinkan pelaku korupsi, hukuman ganda begini lebih tepat jika korupsi itu dianggap sebagai musuh bersama bangsa," tegasnya. 

Sementara, bila hanya mengejar hukuman pidana penjara semata, ini sudah tidak efektif. Malah, masih menimbulkan pertanyaan lagi dalam kasus ini uang penggantinya dikurangi oleh hakim. Tentang hal ini harus terlihat dalam pertimbangan hakim atas pengurangan uang pengganti yang dikurangi oleh majelis hakim lebih dari Rp 3 miliar.

"Terdakwa terima Rp 32,4 miliar, uang disita penyidik Rp 14,5 miliar, terus dalam putusan hakim perintahkan bayar uang pengganti juga Rp 14,5 miliar. Jadi, ada selisih 3,4 miliar? Tentang pengurangan uang pengganti ini harus terlihat dan muncul di pertimbangan hakim dalam putusan," kata dia.

Kata dia, konsekuensi hukumnya kalau tidak ada dalam pertimbangan hakim mestinya putusan tersebut batal dan majelis hakim dapat dianggap unprofesional karena memutus tanpa ada dasar pertimbangan hukum yang jelas.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement