Selasa 24 Aug 2021 22:20 WIB

Erdogan: Turki Lakukan Diplomasi Intensif Soal Afghanistan

Turki akan mengambil langkah yang dibutuhkan untuk mendorong stabilitas kawasan.

 Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Foto: Kepresidenan Turki via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan pada Senin mengungkapkan upaya diplomasinya baru-baru ini dengan pemimpin dunia terkait perkembangan di Afghanistan dan kemungkinan gelombang migrasi ke wilayah negaranya. Erdogan sebut diplomasi dilakukan secara intensif.

"Kami sedang melakukan diplomasi intensif di ranah internasional tentang perkembangan di Afghanistan dan migrasi ilegal," kata Erdogan di Twitter.

Baca Juga

"Kami akan terus mengambil semua langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas di kawasan kami, untuk melindungi negara kami dari tekanan gelombang migrasi, dan memastikan perdamaian negara kami," tambah presiden, sambil membagikan infografis menceritakan hubungannya dengan tujuh pemimpin.

Sumber, https://www.aa.com.tr/id/turki/erdogan-turki-lakukan-diplomasi-intensif-soal-afghanistan/2344081.

Pada Minggu, Erdogan berbicara dengan Presiden Dewan Uni Eropa Charles Michel melalui telepon. Saat itu dia mengatakan Turki tidak dapat menangani gelombang migrasi tambahan.

"Dia dan Michel membahas masalah regional, terutama perkembangan di Afghanistan dan masalah migrasi, serta langkah-langkah untuk meningkatkan hubungan Turki-Uni Eropa," menurut pernyataan dari Direktorat Komunikasi Turki.

Presiden Turki juga berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, lalu dengan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson.

Pada Sabtu, secara terpisah Erdogan berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin melalui telepon dan Kanselir Jerman Angela Merkel, serta Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi. Erdogan pada Jumat bercakap via telepon dengan Perdana Menteri Yunani Kyriakos Mitsotakis tentang perkembangan terakhir di Afghanistan dan masalah migrasi.

Taliban menguasai Afghanistan setelah merebut Kabul pada 15 Agustus. Saat itu, presiden dan pejabat tinggi Afghanistan lainnya meninggalkan negara itu.

Perebutan kekuasaan yang tak terduga telah memicu masyarakat melarikan diri dari Afghanistan, termasuk warga sipil yang membantu tentara atau kelompok asing yang takut pembalasan Taliban.

sumber : Anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement