Senin 23 Aug 2021 14:25 WIB

Erdogan: Turki tak Bisa Bantu Eropa Tampung Pengungsi Afghan

Turki telah membendung jutaan pengungsi Suriah dan menyediakan tempat di perbatasan.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
 Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.
Foto: Kepresidenan Turki via AP
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan.

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan negaranya tak dapat membantu Uni Eropa menampung pengungsi yang pernah bekerja untuk misi diplomatik negara-negara Benua Biru di Afghanistan. Turki diketahui telah membantu Eropa membendung arus jutaan pengungsi Suriah dengan menyediakan tempat perlindungan di perbatasannya.

“Kami telah menerima permintaan untuk menyambut karyawan lokal dari misi Uni Eropa di Afghanistan,” kata Erdogan setelah melakukan percakapan via telepon dengan Presiden Dewan Eropa Charles Michel pada Ahad (22/8), dikutip laman Al Arabiya.

Baca Juga

Terkait permintaan itu, Erdogan justru melayangkan kritik. “Negara-negara anggota (Uni Eropa) bahkan tidak membuka pintu untuk sebagian kecil orang yang melayani mereka dan yang berada dalam kesulitan. Anda tidak bisa mengharapkan Turki mengambil tanggung jawab negara ketiga,” ujar Erdogan.

Erdogan menekankan bahwa saat ini negaranya telah menampung sekitar lima juta pengungsi yang mayoritas berasal dari Suriah. “Turki tidak dapat mendukung beban migrasi tambahan,” ucapnya.

Michel, melalui akun Twitter pribadinya, mengonfirmasi bahwa dia telah membahas perkembangan situasi di Afghanistan dengan Erdogan. Michel menggambarkannya sebagai tantangan bersama Turki dan Uni Eropa. Pada Sabtu (21/8) lalu, Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mendesak semua negara, terutama di Benua Biru, untuk menerima sejumlah pengungsi Afghanistan.

Namun seruan itu tampaknya belum disambut secara hangat. Pada 15 Agustus lalu, Taliban berhasil menguasai ibu kota Afghanistan, Kabul, dan istana kepresidenan. Hal itu menandakan keberhasilan mereka mengambil alih kendali atas negara tersebut.

Ribuan warga Afghanistan berusaha melarikan diri dari negara tersebut setelah Taliban berkuasa. Mereka berbondong-bondong ke bandara Kabul dan berharap dapat dievakuasi. Kini krisis masih berlangsung di bandara tersebut.

Penduduk yang melarikan diri memang enggan jika harus hidup di bawah pemerintahan Taliban. Mereka takut Taliban bakal menerapkan kembali hukum ultrakonservatif berbasis syariat saat kelompok tersebut berkuasa pada 1996-2001.

Kala itu tak ada hak-hak sipil, termasuk untuk kaum perempuan. Sanksi seperti rajam, amputasi, dan eksekusi publik pun diterapkan oleh Taliban. Kekuasaan Taliban berakhir saat Amerika Serikat menginvasi negara tersebut pasca serangan teror terhadap gedung World Trade Center pada 11 September 2001.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement