Senin 23 Aug 2021 09:47 WIB

Perempuan Rohingya Bersaksi di Pengadilan Kriminal Argentina

Seorang wanita Rohingya secara virtual menceritakan deritanya.

Seorang imigran etnis Rohingya berada di kawasan pantai Kuala Simpang Ulim, Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Jumat (4/6/2021). Sebanyak 81 imigran etnis Rohingnya terdampar dikawasan pantai Kuala Simpang Ulim pada pukul 07:00.WIB.
Foto: ANTARA/Hayaturrahman
Seorang imigran etnis Rohingya berada di kawasan pantai Kuala Simpang Ulim, Simpang Ulim, Aceh Timur, Aceh, Jumat (4/6/2021). Sebanyak 81 imigran etnis Rohingnya terdampar dikawasan pantai Kuala Simpang Ulim pada pukul 07:00.WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA, Bangladesh --- Seorang wanita Rohingya pada Selasa lalu bersaksi di depan pengadilan di Argentina melawan genosida militer Myanmar terhadap Muslim di negara bagian Rakhine.

Saksi mata, yang identitasnya dirahasiakan karena alasan keamanan, adalah satu dari enam perempuan Rohingya yang diperlakukan tidak manusiawi oleh tentara Myanmar di negara asal mereka. Dia sekarang tinggal di kamp Bangladesh yang sempit.

Wanita ini menceritakan perlakuan yang diterimanya secara virtual di Pengadilan Banding Kriminal Federal di Buenos Aires, ibu kota Argentina.

Genosida Rohingya telah dipisahkan menjadi dua fase, yang pertama adalah kampanye militer dari Oktober 2016 hingga Januari 2017, dan yang kedua telah berlangsung sejak Agustus 2017.

Dia bersaksi di pengadilan tentang bagaimana militer Myanmar membunuh suaminya dan orang lain di negara bagian Chuk Pyin dan Rakhine.“Tentara membunuh ratusan orang. Beberapa wanita diperkosa sebelum dibunuh. Para tentara kemudian memperkosa banyak perempuan lain di desa mereka dan kemudian membakar rumah mereka hingga rata dengan tanah,” ujar dia.

Organisasi Rohingya Burma Inggris (BROUK), pembela hak Rohingya yang berbasis di Inggris, mengajukan petisi pada November 2019 untuk membuka penyelidikan atas peran para pemimpin sipil dan militer Myanmar dalam melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya, dengan mengutip prinsip yurisdiksi universal.

Kejahatan semacam itu dapat diselidiki di mana saja di dunia di bawah prinsip yurisdiksi universal, di mana pun kejahatan itu dilakukan.

“Ini adalah momen bersejarah bagi saudara dan saudari Rohingya di mana-mana. Kami telah memperjuangkan keadilan untuk genosida terhadap kami selama beberapa dekade, tetapi ini adalah pertama kalinya di mana saja di dunia bahwa seorang Rohingya memiliki kesempatan untuk duduk secara langsung di depan pengadilan, tidak memihak dan independen, untuk berbicara tentang kejahatan terhadap kami,” kata Presiden BROUK Tun Khin.

Menyebut keadilan sebagai satu-satunya cara untuk memutus siklus kekerasan di Myanmar, Khin bersumpah bahwa angkatan bersenjata Myanmar, yang secara resmi dikenal sebagai Tatmadaw, harus menghadapi konsekuensi dari tindakan pembunuhan mereka.

Dia juga memperingatkan bahwa militer yang sama yang mencoba untuk memusnahkan Rohingya sebagai rakyat sekarang justru mengendalikan negara itu sejak kudeta 1 Februari. “Jika kasus ini diterima oleh pengadilan Argentina, itu akan menjadi kasus yurisdiksi universal pertama yang terkait dengan situasi Rohingya di mana pun di dunia,” tambah pernyataan itu.

Ini akan mencakup berbagai kejahatan yang dilakukan sepenuhnya di Myanmar terhadap Rohingya. Ini termasuk pembunuhan massal, penghilangan paksa, penyiksaan yang meluas, kekerasan seksual dan pemenjaraan massal.

Di antara mereka yang dituduh dalam kasus tersebut adalah panglima militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang juga merupakan perdana menteri Myanmar, dan pejabat tinggi militer lainnya.

Tomas Ojea Quintana, mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Myanmar, adalah penasihat hukum untuk BROUK dalam kasus ini.

Menurut laporan oleh Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA), sejak Agustus 2017, hampir 24.000 Muslim Rohingya telah terbunuh, lebih dari 34.000 dilemparkan ke dalam api, lebih dari 114.000 dipukuli dan setidaknya 18.000 perempuan dan gadis Rohingya diperkosa.

Menurut Amnesty International, penumpasan brutal tentara Myanmar di negara bagian Rakhine memaksa lebih dari 750.000 pengungsi Rohingya, kebanyakan wanita dan anak-anak, melarikan diri ke Bangladesh, sehingga jumlah komunitas yang teraniaya di Bangladesh menjadi 1,1 juta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement