Kamis 19 Aug 2021 05:44 WIB

Giliran Rusia dan China Ambil Peluang di Afghanistan?

Menjauhkan AS dari Afghanistan bak prioritas China dan Rusia.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Indira Rezkisari
 Kelompok Taliban berada di Zona Hijau, tempat sebagian besar Kedubes berada di Afganistan. Kantor Kedubes tersebut sebagian besar sudah kosong setelah Taliban menguasai wilayah-wilayah Afganistan. Taliban menyebut sebagai pemenang perang yang sudah berjalan selama 20 tahun.
Foto: EPA-EFE/STRINGER
Kelompok Taliban berada di Zona Hijau, tempat sebagian besar Kedubes berada di Afganistan. Kantor Kedubes tersebut sebagian besar sudah kosong setelah Taliban menguasai wilayah-wilayah Afganistan. Taliban menyebut sebagai pemenang perang yang sudah berjalan selama 20 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban memperlihatkan kebersamaan Rusia dan China. Kedua negara, di samping Iran dan Pakistan, telah membuka kedutaan mereka dan berkomunikasi secara teratur dengan perwakilan Taliban, walaupun belum mengakui Taliban secara resmi.

"China selama ini memelihara kontak dan komunikasi dengan Taliban Afghanistan atas dasar menghormati sepenuhnya kedaulatan Afghanistan dan kehendak semua faksi di negara itu, dan memainkan peran konstruktif dalam mempromosikan penyelesaian politik masalah Afghanistan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying, dilansir dari The Week, Rabu (18/8).

Baca Juga

Bahkan AS tampaknya mengakui "pertemuan" Rusia dan China itu. Negara pertama yang dijangkau AS setelah runtuhnya Kabul adalah Rusia dan China. Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken menjangkau negara-negara yang memiliki hubungan panas dan dingin dengan AS.

Blinken berbicara dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi secara terpisah. Mereka membahas situasi dan upaya untuk mengevakuasi orang dengan aman. Blinken dan Lavrov juga membahas hubungan Moskow dengan berbagai kekuatan politik Afghanistan yang bertujuan membantu memastikan stabilitas dan ketertiban umum.

Keduanya, baik Rusia dan AS, setuju untuk melanjutkan konsultasi dengan partisipasi China, Pakistan, dan negara-negara lain yang berkepentingan untuk menetapkan kondisi yang tepat untuk memulai dialog tentang Afghanistan yang inklusif di bawah kondisi baru.

China ingin mencegah radikalisasi Islam di tanahnya dan membutuhkan Taliban untuk mencegah limpahan fundamentalisme Islam melalui perbatasan timur laut Afghanistan. Beijing saat ini berada di bawah radar negara-negara Barat karena telah memenjarakan lebih dari satu juta orang yang sebagian besar adalah Muslim Uighur dan minoritas lainnya. China juga bersekutu dengan Pakistan, yang dikenal sebagai pendukung Taliban. China juga ingin Taliban mengendalikan Gerakan Islam Turkestan Timur (ETIM).

China juga mengkhawatirkan keamanan proyek infrastruktur utamanya di bawah BRI (Belt and Road Initiative). Tanpa kesepahaman dengan Taliban, proyek-proyek BRI di kawasan, terutama CPEC, akan rentan terhadap serangan teroris. Media China menyebut Afghanistan sebagai "kuburan kekaisaran yang jatuh".

China masih mewaspadai kehadiran AS di Afghanistan, dan berharap untuk melangkah ke dalam kekosongan yang telah diciptakan akibat penarikan militer AS dari Afghanistan. Tentunya mengincar sumber daya alam Afghanistan berupa kekayaan mineral, sambil berharap untuk mengamankan kepentingan strategis dan ekonomi. Merujuk sejarah China dengan India, Beijing memandang Taliban sebagai infrastruktur dan mitra investasi yang berharga.

Selain itu, China dan Pakistan telah berbagi hubungan baik. Terlibat dalam hubungan persahabatan dengan Taliban akan membawa China dan Pakistan lebih dekat, sambil menjaga pengaruh India keluar.

Menjauhkan AS dari Afghanistan adalah prioritas bagi China dan Rusia. Kalau pun kehadiran AS membuat Taliban dan organisasi lain tetap terkendali, Rusia maupun China merasa tidak nyaman dengan kehadiran AS di halaman belakang mereka. Bagi para perencana keamanan mereka, kehadiran Amerika merupakan mimpi buruk strategis yang besar.

Untuk saat ini, Rusia tetap diam, tetapi, Zamir Kabulov, utusan presiden Rusia untuk Afghanistan, telah menyarankan agar Rusia mengakui pemerintah Taliban berdasarkan "perilaku otoritas baru". Dan tentu saja Taliban akan menganggap ini sebagai kemenangan besar.

Rusia sudah lama menyatakan niatnya untuk memerangi terorisme. Namun meski menyebut Taliban sebagai kelompok teroris, Rusia terbuka terhadap gagasan untuk terlibat dengan Taliban sehingga militan tidak melancarkan serangan terhadap sekutunya di Asia, yakni Uzbekistan dan Tajikistan.

Bulan lalu, Rusia melakukan latihan militer dengan Uzbekistan dan Tajikistan, serta juga melakukan latihan militer dengan China. Ini indikasi kuat bahwa Moskow tetap bertekad dalam perangnya melawan terorisme.

Terlepas dari itu, China dan Rusia menganggap Taliban yang sekarang cenderung tidak begitu radikal sehingga yakin bisa berbisnis dengan kelompok yang terorganisir itu. Apalagi, tidak seperti pada 1990-an, ketika Rusia dan Iran bergandengan tangan dengan India untuk menopang Aliansi Utara melawan Taliban, kali ini tidak ada pemimpin pemberontak yang berpengaruh untuk melawan Taliban. Ditambah lagi, Taliban telah mengambil alih wilayah perbatasan utara dan lainnya dan menetralisir hampir semua oposisi potensial.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement