Rabu 18 Aug 2021 19:32 WIB

Komandan Militer Sebut Perang di Libya Bisa Kembali Pecah

Jika pihak yang berkonflik di Libya gagal membuat kesepakatan, perang bisa pecah

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Warga memilih meninggalkan Derna, Libya, setelah konflik menerpa wilayah tersebut. (ilustrasi)
Foto: EPA/Tarek Faramawy
Warga memilih meninggalkan Derna, Libya, setelah konflik menerpa wilayah tersebut. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Komandan Ruang Operasi Gabungan Zona Militer Barat Libya, Mayor Jenderal Osama Juwaili mengatakan, bahwa perang bisa saja terjadi lagi di Libya. Dia tidak mengesampingkan kemungkinan besar bahwa perang besar bakal pecah di negara itu jika kesepakatan dengan berbagai pihak gagal.

"Ada tanda-tanda perang dan jika ada pihak yang berpikir perang adalah pilihan terbaik, maka perang," ujarnya seperti dikutip laman The Libya Observer, Rabu (18/8).

Baca Juga

Juwaili menolak surat 5+5 Joint Military Commission (JMC) kepada Dewan Kepresidenan, Pemerintah Persatuan Nasional (GNU), dan Misi Dukungan PBB (UNSMIL). JMC menuntut kesepakatan militer dan nota kesepahaman yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang sah sebelumnya dibekukan.

"Perjanjian dengan Turki diminta oleh GNA yang sah untuk membantu mengusir serangan di Tripoli, sementara Rusia dan negara-negara lain yang memiliki pasukan di Libya tidak memiliki perjanjian yang sah dengan pemerintah," kata Jenderal Juwaili dalam sebuah pernyataan yang diunggah di Twitter seperti dikutip laman Middle East Monitor, Rabu (18/8).

Pada Sabtu pekan lalu, JMC meminta Dewan Kepresidenan Libya untuk membekukan perjanjian internasional dan MoU yang dibuat dengan negara mana pun. Pada Ahad (15/8), Dewan Tinggi Negara Libya menuntut JMC menjauhkan diri dari urusan politik dan perjanjian internasional di negara itu.

Tahun ini, Libya telah menyaksikan terobosan politik di bawah naungan PBB. Pada 16 Maret, otoritas transisi terpilih, yang terdiri dari pemerintah persatuan dan dewan presidensial, mengemban tugas mereka untuk memimpin negara melalui fase transisi menuju pemilihan parlemen dan presiden yang dijadwalkan pada 24 Desember.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement