Selasa 17 Aug 2021 01:24 WIB

Akar Konflik Papua dan Cara Mengatasinya Menurut Pakar

Perhatian Pemerintah Pusat ke Papua selama ini sudah sangat besar

Pekerja mengecat anak tangga yang yang di dinding besinya akan dipasang bendera Merah Putih di bukit Tungku Wiri atau Bukit Teletubies, Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (16/8/2021). Pemasangan bendera Merah Putih sepanjang 700 meter tersebut dalam rangka Menyambut HUT ke-76 RI.
Foto: Antara/Gusti Tanati
Pekerja mengecat anak tangga yang yang di dinding besinya akan dipasang bendera Merah Putih di bukit Tungku Wiri atau Bukit Teletubies, Kampung Doyo Lama, Distrik Waibu, Kabupaten Jayapura, Papua, Senin (16/8/2021). Pemasangan bendera Merah Putih sepanjang 700 meter tersebut dalam rangka Menyambut HUT ke-76 RI.

REPUBLIKA.CO.ID  JAKARTA— Banyak  beredar informasi yang tidak benar tentang Papua di masyarakat. Seperti pendapatan pajak atau sumbangan  dari Papua lebih besar dibandingkan sumbangan dari Pemerintah Pusat. 

Menanggapi hal tersebut, pengamat Papua, Prof Imron Cotan menyebutkan bahwa sumbangan Pemerintah Pusat ke Papua jauh lebih besar dibandingkan dari Papua sendiri. 

Baca Juga

Dia menyebutkan pajak dari Papua tidak  sampai Rp 10 triliun, sementara sumbangan dari pusat ke Papua lebih dari Rp 40 triliun.

“Jadi kalau ada yang bilang Pemerintah Pusat mengambil kekayaan dari Papua itu keliru,” ujar dia saat menjadi narasumber webinar dengan tema New York Agreement dan pembangunan di Papua, Senin (16/).  

“Sumbangan dari Pemerintah Pusat itu jauh lebih besar. Kadang, lebih banyak bicara tentang mitos tanpa menggali kebenarannya. Sehingga yang keluar adalah hoax,"  kata dia.   

Menurutnya, akar konflik Papua ada beberapa hal. Di antaranya, pertama twisted history atau ada yang menyuplai informasi seolah-olah berdasarkan hasil penelitian itu benar. 

Seperti penelitian dari LIPI atau yang meyakini bahwa Papua pernah merdeka kemudian diserahkan ke PBB. Padahal, semua itu tidak benar. Kedua, adanya miss manajemen prinsip reward and punishmen tidak  diterapkan.  

Dia menambahkan, seolah gubernur punya hak yang tidak  boleh disinggung. Ketiga, penanganan masalah korupsi Papua. Dana tersebut bisa berasal dari dana Otsus, dana perimbangan atau dana lain sulit diverifikasi. 

"Saat pemeriksa datang ke Papua, dibikin sedemikian rupa  seperti kondisi yang tidak aman. Sehingga, saat pemeriksaan dilakukan di hotel atau memilih tempat yang dinilai aman,"paparnya. 

Menurutnya, ada dua cara menyelesaikan masalah Papua yaitu dengan cara soft approach atau pendekatan lunak dan hard approach (pendekatan secara keras). Dia menambahkan, pendekatan lunak diterapkan melalui dialog yang melibatkan tokoh adat seperti dalam kasus pelanggaran HAM.  

Membangun dialog, lanjutnya, dengan orang asli Papua dan non orang asli Papua sebagai langkah rekonsiliasi agar tidak ada kebuntuan. "Hard approuch dilakukan dengan cara memperketat Yustisi, operasi gakum, dan operasi terbatas," terangnya.  

Imron juga membantah Pendeta Socrate Nyoman yang mengeluarkan buku  Bangsa Papua ditetapkan sebagai teroris. Menurutnya,  tidak ada pernyataan seperti itu dari Pemerintah. Bahkan, dia menilai bahwa buku tersebut sebagai bagian upaya menggelorakan orang Papua kepada Pemerintah Pusat. 

"Catat ya, tidak ada Cap Pemerintah Pusat yang mengatakan bahwa bangsa Papua ditetapkan sebagai teroris. Itu tidak benar. yang ada adalah kelompok Lekaga, Militer Morib, dan lainnya. Pemerintah boleh menetapkan kelompok teroris tertentu, dan selama ini tidak ada protes dari luar," paparnya    

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement