Senin 16 Aug 2021 12:43 WIB

Taliban Kuasai Kabul, Sebutan Teroris Hilang dari Barat?

Saigon 1975, Kabul 2021

Pejuang Taliban berhasil menguasai Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul, Ahad (15/8).
Foto: AP/Zabi Karimi
Pejuang Taliban berhasil menguasai Istana Kepresidenan Afghanistan di Kabul, Ahad (15/8).

IHRAM.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

Sekali lagi, inilah bukti media massa punya andil penting dalam sebuah istilah. Hal itu adalah sebutan teroris kepada Taliban. Entah mengapa sebutan teoris mulai menghilang, minimal hanya lamat-lamat, kala Kabul didukuki Taliban.

Di media yang bersumber dari negara barat terlihat sekali kekecewaan. Mereka hanya bisa terima kenyataan bila sekutu mereka di Afghansitan tak berdaya. Mereka hanya bisa melawan dengan mengedarkan berita buruk soal Kabul dan wilaah sekitarnya sebelum jatuh.

Kenyataan ini sama persis kala Saigon hendak jatuh ke tangan tentara Vietkong pada 1975. Mereka pun menggeber berita dengan menyerukan bahwa warga Saigon harus waspada sebenar lagi akan ada pembantaian. Ini akibatnya, selain pasukan AS lari tunggang langgang, para pendukung Vietnam selatan lari dengan naik perahu ke berbagai negara di Asia Tenggara, seperti mengungsi ke pulau Galang yang berada di dekat Batam.

Tapi kenyataan terjadinya kebrutalan di Saigon kemudian tak terbukti. Tentara Vietkong yang dipimpin 'Paman Ho Chi Minch' tak melakukan apa kala masuk koat seperti yang digembar-gemborkan media Barat, terutama AS waktu itu. Mereka tak lakukan pembantain, perkosaan pada perempuan atau hal buruk lainnya. Bahkan, pemerintah baru Vietnam itu terbukti hanya tiga bulan memberi pendidikan kepada rakyatnya melalui indokrinasi dengan memberi tahu bahwa kehidupan kini telah berubah. Hanya itu.

Dan apa yang terjadi di Vietnam terbukti sampai sekarang. Negara itu kini jauh lebih baik. Terlepas dari konflik. Dan tidak terus memburuk seperti imbas perilaku negara besar lainnya kala itu, yakni Uni Soviet di Afghanistan beberapa tahun kemudian. Bala tentara negeri beruang merah yang negara kini telah tercabik-cabik itu hanya meninggalkan picu perang saudara di sana.

Nah, apa yang terjadi di Saigon pada 1975 kini terjadi di Kabul. Lewat tayangan tengah malam 'breaking news' di saluran televisi CNN dan Al Jazeera, omongan bombastis bahwa media barat bahwa Kabul akan terjadi pembantaian ketika Taliban menguasainya pun tak terbukti.

Bahkan tak ada satu  satu pun dan peluru menyalak kala mereka kuasai. Yang ada di gambar televisi (terutama Al Jazeera yang dalam soal ini liputannya jauh lebih up to date dari CNN,red) malah terlihat hanya tentara Taliban yang kebanyakan berserban dan berjenggot tebal, duduk-duduk santai di dalam istana. Kala itu  Presiden Afghanistan telah lari ke Tajiskaan, negara yang merupakan asal sukunya yang dari Tajik itu.

Larinya Presiden Afghanistan, Asraf Ghani, ke Tajikistan, media di Afghansitan seperti Pakistan dan India mengecam habis-habisan. Mereka tuduh perilaku Ghani pengecut. Ini karena dia malah sudah lari terlebh dahulu sebelum perundingan penyerahan Kabul ke Taliban usai. Istilahnya, Ghani 'ngacir' terlebih dahulu tak berani menatap keadaan. Ini beda dengan kala Saigon Jatuh, kala itu ada upacara resmi serah terima kekuasaan.

Al Jazeera menulis nyinyir perilaku Gani dengan mengecam aksinya sebagai: Unpatriotic’ (tidak patiotik). Ini karena mantan Presiden Afghanistan telah dengan cepat meninggakan Afghanistan kala dalam posisi yang sangat genting. Sebuah kutipan dari Ketua Dewan Tinggi untuk Rekonsilasi Nasioal diterakan dalam beritanya, isinya setengah kecaman bahkan kutukan. "Dia telah meninggalkan negara ini. Tuhan akan meminta pertanggungjawabannya,” Abdullah Abdullah.

Ghani lupa bahwa suku-suku di Afghanistan sejak dahulu kala adalah seorang satria di medan perang. Di masa lalu suku-suku itulah yang telah berhasil memulangkan tentara 'Alexander The Great' pulang ke Roma ketika menyerbu kawasan itu. Beberapa tahun silam, seorang jendral bintang tiga di kementerian pertahanan juga mengakui hal itu bahwa orang Afghanistan adalan pejuang tangguh. 

''Mereka satria berperang. Mereka punya kemampuan bertempur jempolan meski dilatih sederhana. Secara alami mereka bisa bertempur selama berpekan-pekan di medan dataran tinggi yang kadang diselimuti es, hanya berbekal air putih dan roti tawar kasar lipat (roti Nan dan Chepati). Itulah hebatnya. Mereka akan makin berbahaya kalau mendapat latihan lebih serius,'' katanya.

Bila di masa lalu kekuatan Romawi 'majal' di tangan mereka, pada abad moderen mulai tahun 1800-an, tiga kekuatan adi daya dunia pun gagal menguasai negri itu. Korban pertamanya Inggris. Meski pada sekitar tahun 1880-an mereka datang menyerbu dengan membawa legiun Gurka, Inggris gagal total. Pasukan mereka kalah telak. Gurkha-gurkha hanya menjadi mayat.

Setelah itu, semua tahu seabad kemudian, yakni pada tahun 1979, giliran pasukan Mujahidin Afghansitan mengusir secara telak tentara Uni Soviet. Mesin perang canggih negara itu tak banyak gunanya. Amerika Serikat (AS) dengan film Rambo III mengolok kenyataan ini. Di film itu dikesankan betapa bodohnya pasukan Soviet yang selalu digambarkan menembak salah dan gampang dibohongi.

Uniknya Mujahidin oleh media barat kala itu tak disebut sebagai teroris. Ini karena apa? Ya karena mereka mendapat dukungan senjata, dana, dan intelejen dari AS. Maka kala itu banyak sekali orang dari berbagai negara difasilitasi oleh Amerika Serikat pergi ke sana. Diantara mereka adalah dari Indonesia. 

Lalu zaman berganti. Akibat runtuhnya menara kembar New York yang oleh Amerika Serikat disebut dilakukan Osama bin Laden yang kala itu bersembunyi di Afghanistan, mereka serbu negara itu pada tahun 2003 atau sekitar 20 tahun lalu.

Nah, sejak itulah sebutan Taliban sebagai teroris muncul diberbagai media massa barat. Indonesia juga ikut terkena imbas istilah itu. Mereka menyebut Taliban sebagai kaum radikal yang berbahaya. Misalnya ketika ada yang menyebut ada kekuatan Taliban di lembaga anti rasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal sejatinya arti kata 'Taliban' itu identik dengan kata 'santri' di Indonesia. Taliban adalah berati pelajar dari kata Arab, santri adalah sebutan siswa dalam bahasa sansekerta (India).

Untuk itu semua, jadi entah karena apa sebutan teroris itu menghilang dalam beberapa pekan terakhir sebelum Taliban kuasai Kabul. Bahkan, pada liputan media mengenai detik-detik Kabul jatuh tak terdengar lagi sebutan teroris yang dilekatkan di depan namanya. Sama dengan Vietkong, Taliban menguasai Kabul dengan damai. Vietkong dan Taliban masuk dalam kondisi wilayah yang sudah tak punya kekuasaan dan kemampuan bertahan.

Semua ini jelas ironi. Negara-negara barat tampaknya melihat kenyataan baru bahwa Taliban kini benar-benar eksis dan harus berunding dengan mereka. Jadi kisah sebutan buruk kepada Vietkong, tampaknya akan berulang pada Taliban. Bahasa kerennya Saigon 1975. Kabul 2021!.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement