Senin 09 Aug 2021 22:13 WIB

Hijriyah dan Makna Perjuangan Strategis

Tahun baru hijriyah tak bisa dilepaskan dari peristiwa hijrah.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Muhammad Hafil
Hijriyah dan Makna Perjuangan Strategis. Foto:  Perjalanan hijrah Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dari Makkah ke Madinah (ilustrasi).
Foto: google.com
Hijriyah dan Makna Perjuangan Strategis. Foto: Perjalanan hijrah Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dari Makkah ke Madinah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, menyampaikan bagaimana seorang Muslim memaknai Tahun Baru 1443 Hijriyah. Tahun Hijriyah tidak bisa dilepaskan dari peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW beserta pengikutnya dari Makkah ke Madinah.

Haedar menjelaskan, hijrah bagi kaum Muslimin secara esensial merupakan perubahan revolusioner atau transformasional dari segala bentuk kejahiliyahan menuju kehidupan yang lebih baik, maju, dan berperadaban utama.

Baca Juga

"Nabi dan kaum Muslim hijrah dari Makkah ke Madinah untuk memulai kehidupan baru yang lebih merdeka dalam mengemban risalah Islam secara bebas dan damai untuk menegakkan kehidupan serba utama dalam cahaya nilai ajaran Islam," tutur dia kepada Republika.co.id, Jumat (6/8).

Dengan hijrah dalam kurun waktu 13 tahun di Yatsrib, terbangun tatanan al-Madinah al-Munawwarah, yakni sistem kehidupan berperadaban yang tercerahkan. Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, dari peradaban Madinah itu kemudian Islam menyebar ke seluruh dunia dan menciptakan era kejayaan berabad-abad lamanya sebagai puncak kemajuan umat Islam yang mencerahkan semesta.

Islam dan umat Islam kala itu benar-benar menjadi pencerah peradaban global yang melahirkan kosmopolitanisme Islam yang rahmatan lil 'alamin. Maka kini, hijrah harus dimaknai dan diproyeksikan sebagai perjuangan strategis bagi kaum Muslimin di Indonesia dan seluruh dunia Islam agar tercapai dua kondisi terbaik.

Pertama, terang Haedar, yaitu umat Islam terbebas dari segala bentuk ketertindasan, ketertinggalan, dan keterpecahbelahan akibat alam pikiran dan situasi yang masih jahiliyah secara sistemik maupun kultural. Artinya apakah kaum muslimin baik sebagai komunitas umat, bangsa, dan negara masih tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga diperlukan hijrah struktural dan kultural.

Kedua, lanjut Haedar, yakni transformasi kehidupan masyarakat, bangsa-bangsa muslim, dan negara-negar Islam di manapun menjadi unggul berkemajuan dalam pemikiran, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), politik, ekonomi, dan kebudayaan, sebagai cerminan al-Madinah al-Munawwarah di era modern kekinian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement