Senin 09 Aug 2021 19:08 WIB

Baliho Bikin Populer, Tapi Buat Apa Jika Citranya Negatif?

Popularitas politikus terkerek lewat baliho tapi sentimen publik belum tentu positif.

Kolase foto aktivis berpose di depan baliho Puan Maharani dan Airlangga Hartarto menyindir langkah elite politik demi Pilpres 2024 saat Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19. (ilustrasi)
Foto: Twitter Abdillah Toha
Kolase foto aktivis berpose di depan baliho Puan Maharani dan Airlangga Hartarto menyindir langkah elite politik demi Pilpres 2024 saat Indonesia masih dilanda pandemi Covid-19. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Rizky Suryarandika, Binti Sholikah, Febrianto Adi Saputro

Maraknya baliho sejumlah ketua umum partai yang terpasang di jalan-jalan dan kemudian viral di media sosial belakangan menjadi bahasan hangat di tengah pandemi Covid-19 yang belum mereda. Dua tokoh yang diperbincangkan balihonya yakni, Ketua DPP PDIP Puan Maharani Ketua Umum DPP Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Baca Juga

Baik Puan dan Airlangga dicurigai publik 'mencuri start' kampanye demi menatap Pilpres 2024. Meski pilpres masih tiga tahun lagi, keduanya lewat partai masing-masing tampil lewat baliho masing-masing dengan pesan yang sama sekali tak berhubungan dengan kondisi pandemi saat ini.

Pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi mengatakan, bahwa baliho berhasil meningkatkan popularitas Puan Maharani. Popularitas Puan bahkan dinilai berhasil mengimbangi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berdasarkan tren percakakan di seluruh media dan media sosial.

"Tren satu bulan terakhir, popularitas Puan meningkat meski banyak sentimen negatif (sindiran). Hampir mengejar tren Ganjar," ujar Ismail dalam cuitannya di akun Twitter pribadinya yang sudah dikonfirmasi, Senin (9/8).

Kampanye baliho Puan juga berhasil menderek popularitasnya setara dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK). Peningkatan popularitas mulai terjadi sejak 18 Juli hingga 7 Agustus 2021.

"Dibandingkan dengan tren Anies Baswedan, tren Puan jauh di bawahnya. Tren Puan awalnya paling rendah, perlahan naik setara RK, lalu mengejar Ganjar," ujar Ismail.

Popularitas, jelas Ismail, adalah gabungan percakapan yang bernada positif, negatif, dan netral. Sehingga popularitas hadir, meskipun sentimen yang diberikan adalah negatif.

Namun, populer saja, menurut Fahmi, tidak cukup untuk seorang Puan. Apalagi kepopuleran tersebut muncul dari sentimen negatif, lalu tak diikuti oleh kerja dan prestasi yang dapat mendongkrak citra positif.

"Dari popularitas, diharapkan nanti akan naik favorabilitasnya (sentimen positif - negatif), lalu dikapitalisasi menjadi elektabilitas. Teorinya begitu," ujar Ismail.

Indonesia Political Opinion (IPO) menangkap, bahwa respons positif banyak diterima Airlangga Hartarto terkait fenomena maraknya pemasangan baliho belakangan ini. Direktur Eksekutif IPO Dedi Kurnia Syah mengatakan, hal itu tal lepas dari posisi Ailangga sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN).

"Faktor kinerja yang menjadi pembeda, dan kemudian membuat baliho Airlangga lebih diterima publik. Kerja Airlangga, terutama program ekonomi, berhasil dan berdampak langsung ke masyarakat," kata Dedi dalam keterangan, Jumat (6/8).

Dia melanjutkan bahwa pada contoh lain, Airlangga juga memberikan dampak positif kepada masyarakat dalam beragam kebijakan partai. Dia mencontohkan penyelenggaraan vaksinasi massal dan pembentukan Yellow Clinic demi mendukung penanganan pandemi.

Dedi mengatakan, sebaliknya, Puan sebagai Ketua DPR RI tak terlalu menonjol dan terlihat kinerjanya untuk kepentingan masyarakat. Selain itu, Dedi menilai pesan yang ditampilkan dalam baliho Airlangga juga tegas dan bermakna yakni Kerja untuk Indonesia.

"Ini semacam penegasan dari apa yang sudah dia (Airlangga) lakukan," katanya.

Dia menilai, masyarakat seperti tak menangkap apa yang coba diungkapkan Puan dalam balihonya, yakni slogan "Kepak Sayap Kebinekaan". Dedi melihat sebaran baliho Airlangga yang dilakukan oleh kader Partai Golkar menjadi bentuk aspirasi soliditas partai. Dia menilai, kondisi ini akan berbeda jika promosi yang dilakukan dengan cara dipaksakan.

"Promosi Airlangga sah saja dan bagus untuk menginformasikan kinerjanya sepanjang bersama pemerintah. Ini agar popularitasnya sebagai tokoh utama Golkar sejalan dengan prestasinya selama ini," katanya.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno mengingatkan para politikus agar lebih cermat dan berhati-hati ketika akan memasang baliho. Ia mengungkapkan dampak negatif baliho bagi para politikus.

"Baliho itu paradoks karena bisa jadi nyerang balik. Lihat saja pembicaraan di media sosial (medsos)," kata Adi kepada Republika, Sabtu (7/8).

Argumentasi Adi bukan tanpa dasar. Politikus yang memasang baliho memang menuai cibiran dan cacian di medsos. Pasalnya, mereka mengabaikan kesulitan rakyat di saat pandemi Covid-19 dan malah asyik sendiri dengan hasrat kekuasaan.

"Kalau enggak dibarengi kerja nyata maka kontraproduktif. Mereka akan dikenal publik tapi nadanya (sentimen citra) negatif. Mereka dianggap tidak sensitif situasi sekarang banyak orang kesusahan," ujar Adi.

Oleh karena itu, Adi menyarankan supaya politikus tak sekedar pasang baliho, tapi turut memberi solusi atas kesulitan masyarakat. Bila tak demikian, ia ragu pemasangan baliho secara masif bakal berdampak positif bagi si politikus.

"Baliho cara kerja politik bagian dari narsisme dan eksistensi yang dilakukan politikus. Tapi hanya menyasar ruang kosong kalau nggak ada kerja nyata terkait pandemi. Jangan dompleng isu pandemi kalau enggak kasih solusi ke masyarakat," ucap Adi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement