Sabtu 07 Aug 2021 01:43 WIB

Militer Myanmar Tawarkan Pengampunan Pada Demonstran

Pencabutan dakwaan dilakukan apabila demonstran menyerahkan diri ke pihak berwenang

Rep: Lintar Satria/ Red: Christiyaningsih
Sejumlah aktivis, dengan menggunakan topeng, menggelar demonstrasi untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar pada 4 April 2021.
Foto: Anadolu Agency
Sejumlah aktivis, dengan menggunakan topeng, menggelar demonstrasi untuk memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar pada 4 April 2021.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Media pemerintah mengatakan militer Myanmar akan mencabut dakwaan sejumlah pengunjuk rasa yang terlibat dalam demonstrasi dan mogok kerja. Pencabutan dakwaan dilakukan apabila mereka menyerahkan diri ke pihak berwenang. Beberapa orang yang didakwa skeptis dengan pengumuman tersebut.

Sejak militer menggulingkan pemerintahan sah Aung San Suu Kyi pada enam bulan yang lalu, Myanmar dilanda gejolak politik. Terjadi gelombang unjuk rasa dan pembangkangan sipil yang melumpuhkan sebagian pemerintahan.

Baca Juga

Organisasi aktivis Assistance Association for Political Prisoners melaporkan sejak awal kudeta pemerintah militer telah menangkap lebih dari tujuh ribu orang serta mengeluarkan 1.984 surat penangkapan.  

Media pemerintah Myanmar, Global New Light, melaporkan kejahatan seperti pembunuhan, pembakaran, atau penyerangan ke tentara tidak mendapat tawaran pengampunan. Media itu menyalahkan anggota partai Suu Kyi yang menghasut rakyat Myanmar untuk melakukan pembangkangan sipil.

"Oleh karena itu bagi yang ingin pulang ke rumah mereka sendiri, dapat menghubungi nomor telepon di bawah ini atau ke kantor polisi, badan pemerintah distrik, atau kota terdekat," kata laporan pemerintah, Jumat (6/8).

Sejak rakyat Myanmar turun ke jalan untuk menentang kudeta, pemerintah militer menggunakan kekerasan untuk membungkam perbedaan pendapat. Gagasan menyerahkan diri ke militer ditolak sejumlah pengunjuk rasa yang sedang bersembunyi dan didakwa.

"Itu mungkin jebakan," kata Khin Myat Myat Naing.

Pria berusia 35 tahun itu didakwa pasal 505A KUHP yang mengkriminalisasi pernyataan yang dapat menyebabkan ketakutan atau menyebar berita palsu dengan masa hukuman tiga tahun penjara. "Mereka selalu mengubah apa yang mereka katakan, contohnya janji pemilihan umum," kata blogger dan influencer tersebut.

Pekan ini penguasa militer Min Aung Hlaing berjanji menggelar pemilihan umum pada Agustus 2023. Pernyataan itu diungkapkan tidak lama setelah ketua junta militer itu berjanji untuk menggelar pemilihan umum dalam dua tahun.

Jurnalis lepas Sai Tun yang didakwa dan sedang bersembunyi juga mengatakan tidak akan menyerahkan diri. Ia juga didakwa pasal 505A karena memfoto aksi unjuk rasa. "Sepanjang angkatan bersenjata di sana, kami akan menjadi tahanan," kata pria berusia 33 tahun itu.

Kakinya tertembak dalam unjuk rasa. Ia berharap pada milisi lokal untuk merebut kembali kekuasaan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement